Wakatobi, Gatra.com – Desa Kulati, Kecamatan Tomia Timur, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, melalui kegiatan pengelolaan sampah terpadu, pemberdayaan perempuan di wilayah pesisir, dan pendidikan lingkungan hidup menjadi penopang sebagai taman nasional.
Menurut survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Desa Kulati, memiliki indeks kesehatan terumbu karang 10 dan dinyatakan sebagai salah satu tempat dengan kondisi terumbu karang paling baik di Indonesia. Di mana, ekosistem terumbu karang yang sehat mendukung produktivitas sektor perikanan.
“Di sini juga banyak ditemukan situs-situs bersejarah. Dengan segenap potensinya ini, tak salah jika masyarakat dan Pemerintah Desa Kulati, mempunyai visi untuk menjadikan Desa Kulati sebagai desa ekowisata,” jelas Direktur Program Kelautan YKAN Muhammad Ilman, dalam keterangan persnya kepada Gatra.com, Jumat (29/4).
Ia menjelasnya, secara umum bentang alam dengan luasan mencapai 1.320.987 hektare, Wakatobi, memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah. Maka pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan di daerah ini mutlak dilakukan.
Upaya itu dibutuhkan sinergi antara semua pihak. Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) bersama Jasa Raharja mendukung Balai Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam rangka pengelolaan sumber daya hayati lestari di.
“Kami yakin, apabila sebuah kawasan konservasi dikelola dengan baik maka akan mampu memberikan banyak manfaat baik secara ekonomi maupun ekologi bagi masyarakat setempat,” terangnya. Untuk mewujudkan hal tersebut, YKAN bermitra dengan Jasa Raharja bersinergi mendukung pengelolaan sumber daya hayati secara lestari di Kabupaten Wakatobi.
Seperti halnya persoalan yang kerap ditemui di wilayah kepulauan, salah satu tantangan terbesar Desa Kulati, yakni dalam hal pengelolaan sampah di lahan terbatas untuk menampung sampah, terlebih mendapat kiriman sampah dari luar daerah yang terbawa arus laut dan angin.
“Untuk mengatasi persoalan sampah ini, melalui Kelompok Ekowisata Masyarakat Desa Kulati (Poassa Nuhada), dibekali pengetahuan dan prasarana pengelolaan sampah terpadu seperti pemilahan sampah, melakukan proses daur ulang sampah melalui pembuatan kompos dan menerapkan proses pirolisis, program bersih sampah, serta pendidikan lingkungan hidup,” imbuhnya.
Metode pirolisis diterapkan untuk memproses sampah plastik menjadi bahan bakar solar. Jenis sampah plastik yang dapat diolah menjadi solar ada tiga antara lain High-Density Polyethylene (HDPE) berupa sampah plastik keras, Low-Density Polyethylene (LDPE) berupa kantong plastik, dan Polypropylene (PP) berupa plastik kemasan gelas air mineral.
”Kapasitas mesin pirolisis adalah 4 kilogram sampah plastik sekali produksi. Dari situ bisa dihasilkan solar sebanyak 2,8 liter. Dalam sehari biasanya kami maksimal memproduksi 4 kali. Meski masih dalam tahap uji coba, solar yang dihasilkan sudah kami pakai untuk bahan bakar mesin perahu,” kata Ketua Kelompok Poassa, Nuhada Nyong Tomia.
Nyong menambahkan, tidak semua sampah plastik bisa diolah menjadi solar, sehingga kemudian dimanfaatkan untuk membuat ecobrick. Saat ini, solar hasil dari pirolisis ini masih akan diteliti lebih lanjut di laboratorium.
Melalui kegiatan interaktif dan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar, anak-anak di Desa Kulati diajak untuk mengenali permasalahan lingkungan yang ada, seperti sampah, termasuk upaya penanganannya.
“Kegiatan pengelolaan sampah terpadu ini sangat menginspirasi kami dan kami akan terus melanjutkannya ke depan. Saat ini kami sedang menyiapkan lahan khusus untuk pengelolaan sampah. Kegiatan pengelolaan sampah terpadu ini juga meningkatkan kesadaran masyarakat Desa Kulati untuk selalu menjaga kebersihan lingkungannya,” terang Kepala Desa Kulati La Ode Burhanuddin.
Peran Perempuan
Tidak dipungkiri, perempuan merupakan salah satu aktor penting dalam pengelolaan pesisir. Didirikan pada 3 Juli 2021, kelompok Padatimu To’asoki Desa Kulati, dibentuk untuk meningkatkan kemampuan para anggotanya termasuk di sektor usaha perekonomian.
Mereka telah mengembangkan produk berupa kerupuk ikan simba (Caranx ignobilis). Untuk mendukung upaya pemanfaatan sumber daya laut yang bijak dan lestari, Kelompok Padatimu To’asoki membuat kesepakatan konservasi.
“Sebagai perempuan pesisir yang bergantung dari sumber daya laut, kami sadar arti penting kelestarian laut bagi keberlanjutan usaha kami ini. Jika laut sehat, maka ikan juga akan terus ada,” kata Ketua Kelompok Padatimu To’asoki Yulianti Rahman.
Sementara, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi Mulyanto mengapresiasi aksi nyata para pihak dalam mendukung pengelolaan SDA di wilayah secara berkelanjutan. “Hal ini selaras dengan visi Kabupaten Wakatobi, yakni Kabupaten Konservasi Maritim yang Sentosa,” katanya.