Jakarta, Gatra.com - Para pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) berharap pemerintah tidak menaikkan cukai rokok di tahun depan. Hal ini untuk memberikan kepastian dalam bisnis termasuk masalah percukaian.
Mereka juga meminta pemerintah untuk bersama-sama membuat peta jalan IHT di masa depan. “Kami berharap ke depan dalam menentukan kebijakan tarif menyesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Artinya, (Pemerintah) jangan seenaknya sendiri menaikkan tarif cukai (rokok) tinggi,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar dalam keterangannya yang diterima pada Senin (25/4).
Menurutnya, kenaikan cukai rokok tanpa adanya masukan dari para pelaku IHT berdampak pada semakin tingginya rokok ilegal masuk di pasar nasional. Lantaranm daya beli konsumen rokok akan menurun akibat adanya pandemi Covid-19 yang diikuti oleh krisis ekonomi.
“Mereka akan tetap merokok tetapi memilih rokok yang lebih murah. Artinya, di situ yang lebih murah itu rokok ilegal. Padahal, rokok ilegal itu kita tahu sendiri sangat merugikan semua pihak,” tegasnya.
Sulami juga menyebut, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok di atas besaran inflasi selama tiga tahun berturut-turut telah menambah beban harga kepada setiap batang rokok yang diproduksi perusahaan rokok resmi sebesar 64,5%. Bahkan untuk perusahaan atau pabrik rokok kecil, beban itu bertambah menjadi 74%.
“Tidak hanya kenaikan di tahun ini, tetapi mulai dari kenaikan 23% di tahun 2020 berbarengan pandemi. BPS mencatat dalam dua tahun terakhir, industri hasil tembakau mengalami kontraksi 1,32% di tahun 2021 dan 5,78% di tahun 2020,” ucapnya.
Ia melanjutkan, kenaikan cukai rokok tahun 2022 sebesar 12% menjadi semakin memberatkan industri yang baru pulih akibat pandemi. Dampaknya, industri hasil tembakau di gologan satu saat ini banyak yang mengajukan untuk turun golongan.
“Sehingga di negara kita ini hanya tinggal tiga dari sebelumnya tujuh perusahaan golongan satu. Jadi ini tidak bisa didiamkan, nanti justru pemerintah akan terpuruk sendiri, karena yang terbesar memberikan kontribusi ke negara ini golongan 1, golongan 2. Kalau golongan 3 banyak yang diproteksi,” jelas Sulami.
Selain berdampak pada para pelau IHT, kenaikan cukai rokok juga dirasakan oleh para buruh di sektor industri ini. Setidaknya, terdapat sekitar 4.000 buruh rokok telah dirumahkan atau diberhentikan.
“Sebenarnya PHK ini tidak hanya dampak dari kenaikan cukai tetapi ada juga dampak dari pandemi. Jadi, dampak gabungan kenaikan tarif cukai dan adanya pandemi,” katanya.
Ia mengaku, bersama para produsen rokok lainnya yang tergabung dalam Gapero Surabaya, selalu merasa was-was setiap tahun lantaran kebijakan-kebijakan yang akan diambil pemerintah. Hal ini karena pemerintah tidak memiliki rumusan tertentu dalam menentukan besaran kenaikan cukai. Selain itu, rumusan kenaikan cukai rokok juga tidak disosialisasikan kepada para pelaku IHT dengan baik.
“Harusnya pemerintah memiliki rumusan yang pasti yang disosialisasikan kepada para pelaku IHT. Sehingga pelaku IHT tidak dibuat pusing,” tegasnya.