Jakarta, Gatra.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) daerah otonomi baru untuk Papua. Ketiga rancangan beleid tersebut antara lain RUU untuk pembentukan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah. Jika rancangan tersebut disahkan menjadi UU maka Papua akan memiliki empat provinsi.
Rencana pembentukan RUU daerah otonomi baru itu disetujui DPR belum lama dari gugatan yang dilayangkan Majelis Rakyat Papua (MRP) terhadap UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua ke Mahkamah Konstitusi. Banyak kalangan menilai, pemekaran Papua hanya akan menimbulkan konflik yang lebih luas. Sementara, masyarakat Papua masih berupaya memperjuangkan hak-haknya di meja konstitusi.
Peneliti senior dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Vidhyandika Djati Perkasa menilai kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II Papua jauh dari harapan. Keberadaan UU Otsus yang diharapkan menjawab persoalan masyarakat Papua, justru menghasilkan kebijakan yang berpolemik.
“Karena masyarakat Papua menganggap itu (UU Otsus) enggak dilalui dengan proses konsultasi yang benar. Kedua, terlalu banyak aturan yang dilabrak pemerintah pusat,” ujar Vidhyandika dalam keterangannya kepada Gatra.com belum lama ini.
Salah satu isu yang paling disorot masyarakat asli Papua, yakni penambahan Daerah Otonomi Baru (DOB) atau pemekaran wilayah Papua. Dalam UU No. 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua, pemekaran wilayah dapat dilakukan pemerintah tanpa harus mendapat persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP).
“Sampai sekarang status Daerah Otonomi Baru itu sedang di-uji materi di MK. Lalu, bagaimana suatu UU tetap berjalan kalau dia sedang diuji materikan?” katanya. Vidhyandika menyebut, kebijakan UU Otsus Jilid II yang kontroversial justru akan menggerus kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah.
“Tidak ada bukti selama ini pembangunan di Papua itu berhasil. Ditambah ada unsur skeptis dari masyarakat asli Papua bahwa [pemekaran] itu upaya memecah belah entitas Papua secara kultural dan etnis,” ujar Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS itu.
Terkait operasi keamanan di Papua, Vidhyandika mempertanyakan langkah pengiriman pasukan berskala besar ke Papua di tengah upaya pemerintah mengkampanyekan pendekatan kemanusiaan dan kesejahteraan. “Bukan darurat sipil, bukan darurat militer, tapi kok kita mendatangkan banyak pasukan ke sana,” katanya.
Strategi keamanan di Papua menurutnya perlu dievaluasi dengan mengedepankan pendekatan taktikal dibandingkan operasi tempur. “Saya usulkan kemampuan intelijen lebih jalan, bukan dari kuantitas pasukan, tapi dari kemampuan aparat memahami kondisi lapangan,” tutur Vidhyandika.
Kemandekan penanganan konflik di Papua, Vidhyandika melanjutkan, disebabkan akar konflik dan pemicunya tidak diatasi. “Pemerintah berasumsi pembangunan akan menghilangkan memori-memori buruk yang dialami oleh orang Papua. Tapi itu tidak berjalan”.
Vidhyandika mengatakan, eksplorasi sumber tambang baru di Bumi Cenderawasih hanya akan menambah masalah. Terlebih, bila pemerintah mengabaikan hak-hak masyarakat Papua. “Menurut saya, sesuatu yang salah membuka lahan emas baru di Wabu. Sementara, persoalan tentang rekognisi dan ketidakadilan itu tidak ditangani,” katanya lagi.
Ia menyayangkan, tidak terlihatnya iktikad pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua. “Sampai saat ini, saya tidak melihat upaya untuk membawa ketidakadilan maupun pelanggaran itu ke pengadilan. Baik yang dilakukan oleh militer maupun KKB,” ujar Vidhyandika.
Jalur dialog dengan kelompok separatis dan pro-kemerdekaan menurutnya dapat ditempuh guna meredam kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. “Kekuatan dari KKB sendiri kan memang terfragmentasi. Ada yang sangat ekstrim dan dia memengaruhi masyarakat. Terus ada juga yang dia bisa diajak dialog,” pungkasnya.