Yogyakarta, Gatra.com – Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Gunawan Budiyanto menilai tak digunakannya istilah klitih oleh aparat pemerintah adalah sesuatu yang tidak produktif dan tak solutif. Langkah ini disebut sebagai upaya menutupi-nutupi akar persoalan.
“Saya ingat kasus 1995 saat diberitakan pelajar wanita di Yogyakarta banyak yang melakukan hubungan badan. Pemerintah bukan malah mencari solusi, tetapi bagaimana cerita ini disimpan rapat-rapat agar citra sebagai kota pelajar terjaga,” kata Budi, Jumat malam (22/4).
Belakangan ini aparat di DIY tak menggunakan istilah klitih dan menyebutnya sebagai kejahatan jalanan. Selain soal istilah, Budi mengatakan metode penanganan masalah tersebut dengan memanggil anak dan menginterogasi orang tuanya juga tidak benar.
Menurutnya, klitih merupakan hasil dari keteledoran semua pihak, baik orang tua, dunia pendidikan, pemerintah, sampai aparat kepolisian.
“Keteledoran di banyak hal menyebabkan ada sebagian generasi yang tertinggal. Pelaku-pelaku klitih adalah generasi yang termarjinalkan. Mereka tidak memiliki rencana apa-apa, tiba-tiba melakukan sesuatu tanpa dipikirkan atau obyok-obyok,” lanjutnya.
Dirinya mengatakan, dalam diskusi penanganan klitih oleh asosiasi perguruan tinggi swasta, pihaknya tidak sepakat soal dihindarinya penggunaan kata klitih. Baginya langkah ini sangat tidak produktif dan bukan suatu solusi.
“Akan sangat mengganjal jika sebuah kasus terus-menerus ditutup-tutupi. Bukan menjadi lebih baik. Nglitih itu sudah biasa bagi masyarakat Jogja. Namun untuk kasus ini masih bersama-sama kita mencari sumber masalah tersebut,” paparnya.
Karena itu, dia mengajak media massa di Yogyakarta untuk melakukan pendekatan secara kultural dan sosial agar membawa dampak positif dalam penanganan kasus ini.
“Gatra dan Tempo tetap saja (menulis) klitih. Yang memberi nama klitih ya kita semua. Itu klitih betul ada, jam satu malam keluar golek-golek . Jika tidak disebut klitih, terus mau disebut klotoh?” katanya.
Gunawan membenarkan salah satu hal yang patut menjadi perhatian adalah minimnya zona publik sebagai media berkreasi anak muda. Dalam beberapa tahun ini, privatisasi zona publik semakin meningkat di Yogyakarta.
Sebelumnya, Senin (18/4), Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah V DIY menggelar diskusi ‘Yogyakarta Kota Pelajar: Merumuskan Solusi Kejahatan Jalanan Remaja’ di Kampus STIPRAM.
Ketua Aptisi Wilayah V Fathul Wahid mendorong perguruan tinggi swasta (PTS) mengambil peran penting dalam penanganan klitih. Narasumber sepakat kata klitih harus dihentikan penggunaannya untuk mendeskripsikan kejahatan jalanan remaja. Para pembicara meminta makna klitih dikembalikan ke arti aslinya, yaitu aktivitas di luar rumah.
Minimnya ruang publik juga menjadi perhatian para akademisi di forum itu. Tidak hanya PTS, kolaborasi seluruh elemen masyarakat untuk mengatasi masalah kejahatan jalanan remaja dan mengembalikan citra Yogyakarta sebagai kota pelajar juga perlu ditingkatkan.