Jakarta, Gatra.com – Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando, mengatakan, pihaknya menargetkan mininal sejuta konten kreator tampil di channel Youtube Perpusnas pada 2022 dengan memanfaatkan Perpusnas sebagai pusat informasi.
Syarif Bando dalam talk virtual bertajuk “Transformasi Perpustakaan Mewujudkan Ekosistem Digital Nasional” pada Selasa (19/4), mengatakan, pihaknya tidak menciptakan aplikasi khusus karena fokus membangun jaringan.
Urgensi dari transformasi terkait dengan membangun ekosistem digital nasional, salah satunya membangun jaringan. Perpustakaan mengumpulkan informasi yang berserakan di masyarakat. Karena di seluruh dunia, ini merupakan tugas dari pustakawan.
“Kemudian didiseminasi dan dikemas ulang dalam bentuk informasi jadi, sehingga memudahkan para pengguna dalam memanfaatkannya,” kata dia.
Ia menjelaskan, produk sarung atau pintu ukir Bali yang dijual di market place Alibaba dengan harga ratusan dolar itu belum tentu ada buku sebagai panduan membuat produk tersebut. Perpustakaan harus menyediaka informasi tersebut di antaraya melalui tutorail video konten kreator.
“Semua ada ilmunya. Ada buku tentang ilmu terapan yang bisa dicari melalui perpustakaan. Kemudian literasi digital, pelatihan bagi warga terdampak Covid-19 berdasarkan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN),” ujarnya.
Syarif Bando menjelaskan, terkait itu pihaknya telah menyusun 6 target dalam transfomasi digital, yaitu konten, olah, layanan, preservasi, dukungan, dan akses.
Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental Pemajuan Budaya dan Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Kordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Didik Suhardi, mengatakan, transformasi adalah suatu keniscayaan.
Terkait itu, lanjut Didik, Kemenko PMK mempunyai tugas membangun manusia dan kebudayaan sehingga mereka menjadi orang-orang hebat dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 mendatang.
Kemenko PMK mempunyi siklus pembangunan manusia, yaitu seribu hari kehidupan, anak usia dini, sekolah, perguruan tinggi, usia produktif, dan lansia.
Menurutnya, keenam siklus di atas harus diintervensi secara baik dan dilakukan secara maksimal. Literasi merupakan penghubung bagian yang harus dilakukan terhadap enam siklus pembangunan manusia ini.
Tentunya, kata dia, perpustakaan menjadi referensi dari seluruh literasi. Karena itu, perpustakaan harus melakukan transformasi sejalan dengan perkembangan informasi dan teknologi.
“Saat ini, eranya industri 4.0 yang ditandai dengan kemampuan berpikir kritis, kemampuan komunikasi, kolaborasi serta kecerdasan buatan,” ujarnya.
Hal tersebut harus diimbangi dengan kemampuan perpustakaan sehingga bisa bertransformasi sehinga bisa diakses di seluruh dunia. Untuk melakukan transformasi tersebut, di antaranya bisa memafaatkan dana desa yang jumlahnya cukup besar.
Terkait dana itu, Kemenko PMK beberap waktu lalu melakukan rapat koordinasi dengan Kemendikbud Ristek, Perpusnas, dan kementerian lain, termasuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
“Ada dana desa sehingga punya potensi besar, sehingga perpustakaan sebagai pintu masuk literasi akan semakin besar,” katanya.
Transformasi digital perpustakaan merupakan keniscayaan untuk menyikapi Revolusi Industri 4.0 yang melahirkan disrupsi seiring menggabungkan teknologi komunikasi dan informasi dalam bidang industri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan World Economic Forum (2020) dinyatakan bahwa 60% pekerjaan di dunia akan menggunakan otomasi dan sebanyak 30% pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh manusia akan digantikan mesin dengan penggunaan teknologi canggih secara masif.
Pada 2022, diprediksi akan ada 26 juta pekerjaan baru tercipta di bidang UMKM dengan bangkitnya e-commerce. Kondisi ini makin terdisrupsi akibat dampak pandemi Covid-19, yakni pada dua tahun terakhir masyarakat secara tidak langsung dipaksa untuk melakukan perubahan gaya hidup dengan cepat.
Untuk memfasilitasi masyarakat terhadap dua jenis keterampilan mendasar dan penting tersebut, perpustakaan mengimplementasikan tranformasi perpustakaan sebagai solusi atas terbatasnya anggaran dan kesenjangan yang sangat luas terhadap akses informasi bahan bacaan.