Jakarta, Gatra - Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung), Ketut Sumedana mengatakan, pihaknya masih mempersiapkan materi peninjauan kembali (PK) atas bebasnya mantan Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2014-2017 Fakhri Hilmi. Diketahui, Fakhri divonis bebas di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA) atas kasus korupsi Rp16 triliun PT Asuransi Jiwasraya.
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diatur bahwa batas PK berlaku selama 160 hari. Ketut mengatakan, sejauh ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum menyatakan sikap penuh untuk mengajukan PK secara resmi, sebab masih menunggu putusan yang lengkap dari MA.
"Kita pelajari dulu celah hukumnya ada di mana," kata Ketut melalui sambungan telepon kepada Gatra, Selasa (19/4).
Ketut belum bisa menjelaskan novum atau bukti yang akan diajukan JPU. Namun, ia menyampaikan, novum tidak perlu menunggu satu bukti baru saat terdakwa terbukti bersalah. Bukti itu bisa didapatkan dari rangkaian persidangan yang ada, dari proses Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor), Pengadilan Tinggi (PT), hingga kasasi MA.
"Kedua, ketika ada suatu putusan, dissenting opinion di antara mereka, itu juga bisa jadi novum. Atau ada dari sisi pembuktian, apa yang diajukan oleh JPU tidak dipertimbangkan sama sekali," dia menjelaskan.
Dalam proses penemuan fakta kasus tersebut, Ketut menjelaskan, ada beberapa hal yang sepatutnya dilakukan oleh seorang pengawas seperti Fakhri. Bisa saja Fakhri mengambil sikap untuk menyetop seluruh saham yang dijual atau menyeret kegiatan itu ke ranah hukum dengan menggunakan UU pasar modal.
"Kan kalau dilakukan oleh mereka, tidak menyebabkan kerugian akumulatif yang begitu besar. Karena itu 10 tahun. Satu tahun saja dilakukan kegiatan itu, mungkin 9 tahun tidak rugi sebanyak itu. Hal-hal itu bisa jadi pertimbangan," dia menerangkan.
Di tingkat PN dan PT sendiri, kata Ketut, Fakhri sebenarnya terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan melakukan pembiaran terhadap pelaku pasar modal yang notabenenya menyebabkan kerugian negara. Jika bicara soal Standar Operasional Prosedur (SOP), yang menjadi dalih dibebaskannya Fakhri dari vonis itu karena dianggap telah patuh, mantan Kepala Pengawas Pasar Modal itu masih belum melakukan tugas atau SOP dengan benar.
"Saya tidak bicara SOP, kalau SOP kecil sekali rasanya. Tugas, wewenang mereka kan melakukan pengawasan dan melakukan tindakan hukum kalau terjadi sesuatu kerugian yang begitu besar," kata Ketut.
Itulah yang jadi celah hukum yang bakal dipegang oleh JPU. Ketut mengatakan, penindakan pidana harus diutamakan ketimbang aspek SOP.
"Kalau ada disiplin dalam SOP, tetapi juga ada tindak pidana dalam disiplin itu. Mana yang lebih harus didahulukan? Harusnya tindak pidana dulu. Kalau SOP ada disiplin, (tapi ternyata) ada kode etik dilanggar," Ketut mengakhiri.