Jakarta, Gatra.com - Kabareskrim Polri, Komjen Pol Agus Andrianto mengungkapkan bahwa sepanjang 2021 hingga 2022, Polri telah menyelesaikan 15.039 perkara dengan restorative justice atau pendekatan penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, dan saksi.
"Jumlah ini meningkat 28,3% dari tahun sebelumnya sebesar 9.199 kasus," kata Agus dalam kegiatan bertajuk 'Restorative Justice Harapan Baru Pencarian Keadilan', Selasa (19/4).
Agus memaparkan, dari pendekatan tersebut, sebanyak 1.052 Polsek di 343 Polres sudah tidak lagi melakukan proses penyidikan. Menurutnya, Polsek lebih ditugaskan pada pelayanan, yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
"Polsek harus menjadi basis resolusi penyelesaian perkara berkeadilan dengan cara dialog, mediasi, problem solving, dalam menyelesaikan perkara ringan, pertikaian warga ataupun bentuk-bentuk gangguan Kamtibmas lainya hal ini jelas merupakan merupakan upaya dari Restorative Justice sesuai Visi Presisi Bapak Kapolri," ujar Agus.
Agus menyebut, restorative justice saat ini menjadi prioritas kepolisian dalam melakukan penyelesaian perkara. Pasalnya, dikatakan Agus, itu merupakan prinsip utama dalam keadilan restoratif yakni, penegakan hukum yang selalu mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
"Penekanan Bapak Kapolri, penyidik harus memiliki Prinsip bahwa hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum (Ultimum Remidium). Polri harus bisa menempatkan diri sebagai institusi yang memberikan rasa keadilan kepada masyarakat," ucap Agus.
Kendati demikian, Agus menekankan, tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Hal itu sebagaimana Pasal 5 Perpol 8 Tahun 2021, di mana kasus-kasus yang dapat diselesaikan melalui restorative justice harus memenuhi persyaratan materil.
Adapun tindak pidana kejahatan yang tidak bisa diselesaikan dengan Restorative Justice yakni, terorisme, pidana terhadap keamanan negara, korupsi dan perkara terhadap nyawa orang, dan juga tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak pada konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme serta bukan pengulangan pelaku tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan.