Jakarta, Gatra.com – Ketua Prodi Hukum Universitas Bina Nusantara (Binus), Ahmad Sofian, berpandangan, dasar hukum restorative justice yang dilakukan oleh kepolisian maupun kejaksaan masih terbilang abu-abu.
Ahmad dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) gelaran DPC Perhimpunan Advokat Jakarta Barat (Peradi Jakbar) dan Universitas Binus secara daring pada akhir pekan kemarin, menyampaikan demikian karena belum ada undan-undangnya.
“Ini menarik karena dasar hukum dalam bentuk undang-undang itu kan tidak ada, tetapi sudah dipraktikkan berdasarkan peraturan yang dibuat oleh masing-masing penegak hukum itu,” katanya.
Menurutnya, untuk tingkat penyidikan, restorative justice diatur melalui Peraturan Kepolian Negara Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Sedangkan di Kejaksaan, berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Meski belum ada undang-undang yang secara tegas mengatur restorative justice di luar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, kedua lembaga penegak hukum itu sudah banyak menerapkan restorative justice atau keadilan restoratif.
“Sudah dipraktikkan berdasarkan peraturan yang dibuat oleh masing-masing penegak hukum itu. Jadi, penegak hukum bisa melakukan restorative justice. Mendamaikan, memediasi kedua belah pihak lalu membuat komitmen, membuat kesepakatan [damai],” katanya.
Adapun produk restorative justice di tingkap penyidikan Polri adalah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Sedangkan di tingkat penuntutan atau Kejaksaan, yakni Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).
Menurutnya, kewenangan kedua lembaga penegak hukum tersebut melakukan restorative justice ini sangat menarik untuk dikaji. Pasalnya, selain belum ada undang-undang di luar UU Nomor 11 Tahun 2012, namun polisi dan jaksa seolah bisa memutuskan suatu perkara.
Padahal, lanjut dia, mengadili dan memutus suatu perkara itu merupakan ranah dari pengadilan. “Proses mengadili, upaya untuk mencari keadilan sengketa hukum di hadapan? badan hukum peradilan berdasarkan hukum yang berlaku,” ujarnya.
Dengan demikian, restortive justice yang dilakukan polisi dan jaksa ini apakah sudah masuk ke ranah pengadilan atau tidak karena penegak hukum yang berada di eksektif seolah memiliki “pengadilan”.
“Apakah mereka juga masuk kategori court sebagaimana yang saya jelaskan ini? Itu menjadi bahan diskusi juga. Tetapi sudah banyak putusan-putusan [restorative justice]-nya,” kata dia.
Sudah banyak kasus yang dihentikan melalui restorative justice tersebut, lanjut dia, misalnya di kepolisian sebagaimana disampaikan oleh Kabareskrim bahwa dalam rentang 5 tahun terakhir jumlahnya lebih dari 1.300 kasus.
“Kemudian di Kejaksaan ada 'pengadilan' yang mereka sebut restorative justice, memeriksa dan memutus perkara. Apakah itu musuk [pengadilan] atau tidak,” katanya.
Ahmad melanjutkan, aturan yang tegas soal restorative justice itu terdapat di UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU ini mengatur diversi yang harus dilakukan polisi di tingkat penyidikan, jaksa di tahap penuntutan, dan hakim pada persidangan perkara pidana anak.
“Penyidik wajib melakukan diversi. Kalau gagal serahkan ke jaksa dan jaksa melakukan hal yang sama,” katanya.
Jika tercapai kesepakatan di tingkat penuntutan, kemudian jaksa menyampaikan berkas ke pengadilan. Lantas, hakim membuat penetapan. Sedangkan jika jaksa juga gagal mencapai kesepakatan, maka perkaranya dilimpahkan ke pengadilan.
“Hakim yang ditunjuk ketua wajib melakukan diversi lagi sebelum sidang. Kalau enggak terjadi kesempatan lagi, masuklah dia ke sistem peradilan pidana atau SPPA. Jadi ada 3 kali filter sebelum ke peradilan pidana,” katanya.
Setelah itu, anak menjadi terdakwa dan persidangannya tertutup untuk umum. Namun untuk tuntutan dan vonisnya berlaku bukan mencari hukuman yang paling berat, tetapi sebaliknya.
“Pidananya juga ada pembinaan, pengawasan, penjara itu diletakkan paling akhir. Jadi jangan dahulu menghukum anak dengan penjara, menuntut anak dengan penjara,” tandasnya.
Dalam UU tersebut juga mengatur kasus-kasus yang wajib dilakukan diversi, yakni jika ancaman pidananya maksimum atau kurang 7 tahun. Sedangkan kalau lebih dari 7 tahun ancaman pidananya tidak wajib, artinya boleh dilakukan diversi atau tidak. Itu kembali ke hak subjektif penydik, JPU, dan hakim.
Menurutnya, dalam UU 11 Tahun 2012 tersebut skema restorative justice-nya sangat jelas, mulai dari prinsip, keadilan, dan manfaatnya. Tiga nilai dasar hukum itu sudah diintegrasikan dalam sistem peradilan anak sehingga ada kepastian hukum.
“Nah, restorativ justice yang dikembangkan di kepolisian dan kejaksaan saat ini akirnya tebang pilih. Case-case tertentu saja,” katanya.