Home Hukum Pandangan Berbeda Akademisi soal Bela Paksa Pembunuhan 2 Begal di Lombok

Pandangan Berbeda Akademisi soal Bela Paksa Pembunuhan 2 Begal di Lombok

Jakarta, Gatra.com – Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) akhirnya menghentikan penyidikan kasus pembunuhan 2 begal yang melilit AS. Pria korban begal tersebut melawan hingga 2 dari 4 orang begal yang akan merampokya meregang nyawa.

Ketua Prodi Hukum Universitas Bina Nusantara (Binus), Dr. Ahmad Sofian, menyampaikan, mempunyai pandangan berbeda dengan netizien. Para warganet meminta agar polisi menghetikan perkara AS.

“Kalau yang di Lombok itu, saya punya pandangan yang mungkin bebeda dengan pandangan netizen. Pandangan saya adalah pandangan hukum pidana,” katanya ketika menjadi pembicara dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) DPC Peradi Jakbar-Universitas Binus secara daring pada akhir pekan ini.

Menurutnya, jika AS melakukan bela paksa untuk membela diri dari pelaku yang akan membegalnya hingga 2 pelaku begal tewas. Korban begal tersebut kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.

“Menurut pandangan hukum saya, penetapan tersangka itu sepanjang ada 2 alat bukti sah, lalu bukan karena tekanan netizen lalu SP3 terbit, enggak bener juga,” katanya.

Menurutnya, sepanjang ada 2 alat bukti yang sah, yakni visum penyebab kematian, keterangan minmal 2 orang saksi karena satu saksi bukan saksi atau unus testis nullu testis. “Kalau ada dua saksi, ada kematian, kematian adalah peristiwa yang dilarang. Kematian diakui pelaku ditusuk, dia mengatakan membela diri,” katanya.

Bela paksa berdasarkan Pasal 49 KUHP itu hanya bisa dilakukan atas putusan pengadilan yang menilai, bukan penyidik. Kecuali kalau orang tersebut betul-betul menderita gangguan jiwa maka bisa dibebaskan dengan alasan pemaaf. Gangguan jiwa itu berdasarkan keterangan pihak rumah sakit jiwa sehingga tidak mungkin ditetapkan sebagai tersangka dan diadili.

“Bela paksa [diputus] di pengadilan. Jadi menurut saya, itu adalah rangkaian proses peradilan pidana yang benar,” katanya.

Akan tetapi, lanjut Ahmad, masyarakat menganggap bahwa AS merupakan korban begal lalu membunuh sehingga masyarakat marahnya kepada begal. Tetapi kejadian sesungguhnya belum terang karena menurutnya keterangan itu baru dari satu pihak.

“Enggak tahu 2 begal yang ditangkap itu memberikan klarifikasi juga, sebenarnya apa yang terjadi di tempat gelap itu. Benarkah dia ditebas, kok ditebas gak ada yang luka?” katanya.

“Kok bisa dengan satu tusukan pisau, mati. Benarkah hanya 1 tusukan atau tusukan yang berulang-ulang karena tidak ada visum, kita belum dapat nih hasil visumnya karena apa,” ucapnya.

Ahmad berpendapat, harusnya pembebasan AS pada saat proses peradilan pidana, bukan di tingkat penyidikan. “Jadi ini semangatnya karena kasus itu viral, coba kasus itu enggak viral, beda lagikan,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa peradilan pidana itu merupakan subsistem dan tidak bisa berdasarkan tekanan publik. Menurutnya, langkah kepolisian menetapkan tersangka itu sudah benar sepanjang berdasarkan 2 alat bukti permulaan yang cukup.

“Ditetapkan sebagai tersangka, prapenuntutan, sidangnya cepat lah supaya publik enggak marah. Lalu hakim memutuskan, ya benar, saudara A melakukan upaya bela paksa menyebabkan 2 orang mati karena perbuatan 2 orang itu mengancam jiwanya, tegoncang jiwanya sehingga dia melakukan pembelaan diri dan membunuh orang tersebut,” katanya.

Dengan demikian, perbuatan tersebut dihapuskan dalam konteks pidana dan dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga terdakwa dibebaskan. “Selesai kan. Namun prosesnya itu harus cepat memang jangan berlama-lama,” ucapnya.

Ahmad menyampaikan, pandangannya berbeda dengan pandangan masyarakat yang meyakini bahwa penetapan tersangka itu keliru. “Kita tidak tahu persis apa yang terjadi. Pengadilan yang akan membuat perkara itu terang benderang dari tempat yang gelap tadi itu, di pengadilan jadi terang, kita semua tahu apa yang terjadi,” ujarnya.

433