Home Teknologi Dari Pornografi hingga Game dan Judi, Ancaman Internet pada Anak Indonesia Lebih Besar dari Eropa

Dari Pornografi hingga Game dan Judi, Ancaman Internet pada Anak Indonesia Lebih Besar dari Eropa

Yogyakarta, Gatra.com – Sebanyak 71,2 persen dari total pelajar di Indonesia telah menjadi pengguna internet aktif dan hampir 63,88 persen didominasi mereka yang hanya berselancar mencari hiburan di dunia sosial. Padahal ancaman dari internet pada anak Indonesia lebih besar dibanding di Eropa.

Hal ini disampaikan Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) Kalamullah Ramli saat mengisi materi dalam Webinar Merajut Nusantara ‘Keamanan Anak di Platform Digital' pada Jumat (15/4) malam.

“Tujuh tahun terakhir, jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat drastis. Pada 2015, jumlah pengguna internet di Indonesia hanya tercatat 72 juta orang, lalu pada akhir Januari 2022 ada 191 juta pengguna internet,” katanya.

Jika dilihat dari segmentasi penggunanya dari kalangan pelajar, pengguna internet melalui gawai di segmen ini mencapai 71, 8 persen sebagai pengguna aktif dan sisanya 21,8 persen tidak aktif.

"Padahal secara kajian, ancaman dari dunia maya terhadap anak Indonesia lebih besar dibandingkan sebayanya yang tinggal di Eropa,” lanjut Ramli.

Di Eropa, dari resiko konten anak-anak di sana terancam lewat konten pornografi dan konten kekerasan. Di Indonesia, anak-anak terancam ‘pornografi kekerasan’ dan informasi perjudian.

Di Eropa, ancaman datang dari orang yang tidak dikenal dan para pedofili. Di Indonesia, ancamannya malah lebih banyak.

“Selain rawan berkenalan dengan pedofili, anak-anak di Indonesia bisa jadi diminta memposting konten diri berpenampilan seksi atau sensual dan berkenalan dengan orang-orang yang menginginkan mereka membuka baju,” ucapnya.

Dari faktor tindakan, ancaman terhadap anak-anak Eropa dalam bentuk pengiriman pesan yang merendahkan harga diri dan cyberbullying.

Pada anak-anak Indonesia, kata dia, ancamannya lebih gawat lagi, yaitu hadirnya konten-konten yang merusak reputasi dan mempermalukan orang lain, membuat dan menyebarkan gosip atau berita bohong, serta menampilkan foto intim.

“Di Indonesia, ada ancaman lain di tengah tingginya penggunaan gawai yang lebih dari lima jam sehari dan sembilan jam berselancar di medsos. Yaitu, kebocoran data pribadi yang berulang-ulang yang berpotensi dijualbelikan,” katanya.

Sebagai inisiator Indonesia Cyber Awareness and Resilience Institute UI (id-CARE.UI), Ramli mendorong Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi memasukkan kurikulum pendidikan tentang pengenalan risiko internet.

Menurutnya, program literasi digital kepada anak sekolah dan pendidik yang sekarang digalakkan pemerintah kurang berdampak karena sifatnya sporadis. Berbeda jika lewat kurikulum sekolah, pengenalan internet dan risikonya akan tersampaikan secara sistematis.

Di ajang yang sama, anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyebut saat ini anak Indonesia berusia di atas lima tahun yang sudah berinteraksi dengan internet lewat gawai mencapai 88,99 persen.

“Keteledoran orang tua yang pada awalnya sebatas memberi gawai supaya anak tidak rewel malah menjadikan anak semakin kecanduan. Bahkan semakin mengerikan, karena ada anak yang kecanduan permainan online hingga 15 jam sehari,” ujarnya.

Jika dibiarkan tanpa penanganan, Sukamta menyatakan anak-anak yang mengalami kecanduan internet mengalami perubahan otak dan akan sulit fokus, berkonsentrasi, dan membuat keputusan.

Menurutnya, anak-anak menjadi lebih mementingkan bermain permainan online dibandingkan belajar, beribadah, dan bergaul dengan sebayanya. Sukamta menyebut ada bahaya besar yang akan didapat di masa depan. Tidak hanya mengubah jiwa sosial mereka, kondisi itu juga menghadirkan kekeraskepalaan dan hilangnya konsentrasi belajar.

“Orang tua anak, sekolah, hingga pemerintah yang kiranya harus bertanggung jawab dan berperan aktif dalam mengurangi kecanduan internet ini,” ucap politisi PKS ini.

Orang tua berperan sentral dalam pendampingan dan edukasi mengenai internet sehat, meski saat ini banyak orang tua juga belum teredukasi soal dunia digital.

"Sekolah ambil bagian dalam edukasi internet untuk sarana belajar atau pengembangan kreativitas. Sementara pemerintah wajib membuat regulasi soal perlindungan data pribadi dan pemantauan siber," imbuh Sukamta.

303