Palembang, Gatra.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang bersama Google News Initiative menggelar webinar bertajuk ‘Menciduk Misinformasi Karhutla dan Perubahan Iklim’, Kamis (14/4).
Media sebagai penentu opini publik, seringkali terjebak framing dan pengaruh kekuasaan. Penyajian berita yang tidak komprehensif membuat pemberitaan mengenai kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pun seringkali berat sebelah.
Jauh dari lokasi kejadian menjadi salah satu alasan jurnalis terkadang hanya bisa mengutip pernyataan resmi pemerintah dan aparat, tanpa mengimbangi dengan pantauan langsung di lapangan serta masyarakat yang terdampak langsung.
Ketua AJI Palembang Prawira Maulana mengatakan, banyak jurnalis salah mengartikan isu perubahan iklim dan memandang sebelah mata isu ini. Webinar ini, ujar Wira akan memberikan perspektif baru terhadap masyarakat, khususnya jurnalis, bahwa isu perubahan iklim nyata adanya.
“Setelah mulai sadar akan isu ini, nanti jurnalis harus mengembangkan bagaimana mengangkat isu perubahan iklim ini di dalam karya jurnalistik. Misal saat terjadi banjir atau karhutla, jangan hanya peristiwa banjir atau karhutlanya saja yang diangkat. Namun bagaimana karhutla dan banjir tersebut, merupakan sebab atau akibat dari perubahan iklim,” ujarnya.
Tiga narasumber yang menjadi pengampu dalam diskusi ini adalah Kepala Divisi Kampanye Walhi Sumsel Puspita Indah Sari, Pakar Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah Palembang Yenrizal, dan Anggota Majelis Etik AJI Palembang, Ibrahim Arsyad. Dengan moderator Pimpinan Redaksi Wongkito.co Nila Ertina
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), lebih dari satu juta hektare lahan terbakar akibat karhutla di Sumsel periode 2015-2020. Karhutla menjadi biang keladi kabut asap, terparah terjadi pada 2015 dan 2019 di Sumsel, dan menyebabkan kelumpuhan ekonomi.
Dalam paparannya, Kepala Divisi Kampanye Walhi Sumsel Puspita Indah Sari mengatakan, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk menekan emisi karbon, seperti menekan laju deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan. Deforestasi di Indonesia pun meningkat dari yang sebelumnya 1,1 juta ha/tahun (2009-2013) menjadi 1,47 juta ha/tahun (2013-2017). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi.
Total lahan Provinsi Sumatera Selatan yakni 9,159 juta hektare dengan jumlah penduduk 8,47 juta jiwa. Dari luasan lahan tersebut, 1,7 juta hektare dikuasai negara, 3,55 juta hektare dikuasai korporasi, dan 3,9 juta hektare dikuasai rakyat.
“Saat ini lahan di Sumsel sebagian besar sudah dikuasai korporasi. Dari total 3,55 juta hektare yang dikuasai korporasi itu, kebun kayu 1,5 hektare, 1,3 juta hektare perkebunan, dan pertambangan 675 ribu hektare. Industri ekstraktif sangat berdampak pada lingkungan,” ujar Pita.
Pakar Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah Palembang Yenrizal berujar, kecenderungan penyebab karhutla di Sumsel berasal dari dua pihak, yakni oknum masyarakat dan oknum perusahaan. Sejak 2015 pemerintah sudah menggugat secara perdata 17 perusahaan dengan denda dan ganti rugi Rp3,9 triliun akibat lahan yang terbakar, baik disengaja, maupun tidak disengaja dengan 75 kasus pidana karhutla yang ditangani aparat.
“Hanya saja transparansi proses penanganannya yang kurang. Selain itu juga konstruksi media tentang karhutla harus kita akui, pemberitaannya sangat insidentil. Banyak yang yang tidak terlalu memahami istilah karhutla dan tidak pernah datang ke lokasi kebakaran. Sehingga berita yang diproduksi tidak komprehensif,” kata dia.
Anggota Majelis Etik AJI Palembang Ibrahim Arsyad mengungkapkan, situasi perkembangan jurnalisme saat ini semakin deras akibat arus digital. Bila tidak mampu mengimbanginya, kerja jurnalis sekarang akan semakin lemah karena terbawa arus. “Sebelum menceburkan diri kita menjadi jurnalis, kita harus memahami beberapa hal, yakni wawasan, skil, dan etik,” kata dia.
Tiga hal ini harus dimiliki oleh jurnalis saat memproduksi sebuah karya jurnalistik yang apik dan tidak menyebabkan misinformasi. Misinformasi akibat wawasan yang kurang, skill yang tidak mumpuni, dan kode etik yang tidak terjaga, akan menyebabkan jurnalis sebagai penyebar misinformasi, bukan pemberi kabar kepada masyarakat.
Dengan begitu, jurnalis harus meningkatkan literasi diri. Jangan kita menyuruh orang meningkatkan literasi tapi kita sendiri sebagai pencari berita tidak meningkatkan literasi. Literasi dan misinformasi tidak bisa dipisahkan. Bila kita, jurnalis tidak terliterasi dengan baik, kita akan menjadi penyebar misinformasi,” ujar Kepala Biro Gatra Sumatera Selatan ini.
Webinar ini merupakan seri kerja sama AJI Indonesia bersama Google News Initiative di puluhan kota di Indonesia. AJI dan Google berharap dengan seri webinar ini, kesadaran masyarakat terhadap isu perubahan iklim lebih meningkat dan bisa menyikapinya dengan baik.
Reporter: Bubun Kurniadi