Jakarta, Gatra.com – Tim Jaksa Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Pidsus Kejagung) memeriksa empat orang verifikator Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor Crud Palm Oil (CPO) dan turunannya pada 2021–2022.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, di Jakarta, Kamis (14/4), menyampaikan, keempat orang verifikator Kemendag tersebut diperiksa sebagai saksi. Mereka adalah I, EJ, FO, dan S.
“Diperiksa terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022,” ujarnya.
Ketut menyampaikan, tim penyidik memeriksa keempat orang di atas sebagai saksi untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dugaan korupsi ini.
Kejagung mulai memeriksa saksi-saksi setelah menaikkan status penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor minyak goreng tahun 2021–2022 ini ke tahap penyidikan.
Kasus ini naik ke penyidikan setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Kuhusu Nomor: Prin-17/F.2/Fd.2/04/2022 tanggal 04 April 2022.
“Sebelumnya telah dilaksanakan kegiatan penyelidikan berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/F.2/Fd.1/03/2022 tanggal 14 Maret 2022,” ujarnya.
Menurutnya, selama penyelidikan telah didapatkan keterangan dari 14 orang saksi dan dokumen atau surat terkait pemberian fasilitas ekspor minyak goreng tahun 2021–2022. Dari hasil kegiatan penyelidikan, maka ditemukan perbuatan melawan hukum, di antaranya dikeluarkannya persetujuan ekspor (PE) kepada eksportir yang seharusnya ditolak izinnya.
Pasalnya, kata Ketut, tidak memenuhi syarat DMO-DPO, antara lain PT Mikie Oleo Nabati Industri (OI) dan PT Karya Indah Alam Sejahtera (IS) tetap mendapatkan persetujuan ekspor (PE) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI.
“Kesalahannya adalah tidak memedomani pemenuhan kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO) sehingga dan harga penjualan didalam negeri (DPO) melanggar batas harga yang ditetapkan pemerintah dengan menjual minyak goreng di atas DPO yang seharusnya di atas Rp10.300,” katanya.
Selanjutnya, disinyalir adanya gratifikasi dalam pemberian izin penerbitan persetujuan ekspor tersebut. Penerbitan Persetujuan Ekspor ini bertentangan dengan hukum dalam kurun waktu 1 Februari sampai dengan 20 Maret 2022 mengakibatkan kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng.