Jakarta, Gatra.com - Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra menyatakan, Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi Hati) telah mengirimkan laporan gabungan untuk Universal Periodic Review (UPR) Indonesia tahun 2022 tentang hukuman mati.
Dalam laporan tersebut, Koalisi Hati melaporkan situasi hukuman mati di Indonesia sejak laporan terakhir di tahun 2017. Pada periode UPR sebelumnya, Indonesia mendapatkan 14 rekomendasi dari 27 negara terkait hukuman mati.
“Indonesia menerima 2 dari 14 rekomendasi UPR, yaitu rekomendasi nomor 141.52 dan 141.60 tentang moratorium dan pemantauan fair trial.” ujarnya dalam konferensi pers Koalisi Hati, Kamis (7/4).
Lebih lanjut, Ardi menuturkan bahwa di UPR 2022, Koalisi Hati mengungkap sejumlah permasalahan terkait praktik hukuman mati di Indonesia.
Ardi menjelaskan hingga kini akuntabilitas pemerintah terkait data dan informasi penerapan hukuman mati masih sangat minim. Kelompok masyarakat sipil bahkan harus mengumpulkan data melalui media monitoring.
“Tidak ada data resmi yang akurat yang dapat diakses oleh publik sehingga pemenuhan hak-hak terpidana mati diragukan,” jelasnya.
Kemudian, Ardi menyinggung pendekatan “War on Drugs” yang didasarkan pada data yang tidak tepat sehingga menambah jumlah vonis mati. Menurutnya pendekatan ini juga hanya membuat penjara menjadi kelebihan kapasitas.
“Mayoritas terpidana mati adalah mereka dengan kejahatan narkotika. Kebijakan War on Drugs yang salah dan keliru itu hanya membuat penjara menjadi over kapasitas,” ujarnya.
Masalah berikutnya, jelas Ardi, tidak terpenuhinya hak-hak terpidana mati di dalam Lapas. Para terpidana mati ini mengalami diskriminasi lantaran statusnya yang bukan sebagai warga binaan sehingga banyak hak mereka yang tidak terpenuhi.
“Mereka tidak mendapatkan perhatian dari Lapas ketika mereka sedang menjalani masa tunggu eksekusi di lembaga pemasyarakatan,” jelasnya.
Selain itu, Ardi menyebut hukuman mati yang dijatuhkan lewat sidang virtual selama masa pandemi memiliki banyak kelemahan untuk keadilan substansial. Menurutnya, persidangan virtual memberikan ruang yang lebih besar untuk persidangan yang tidak adil.
“Kualitas bantuan hukum yang buruk, cara penyampaian informasi yang terbatas, masalah teknis dengan internet dan perangkat yang digunakan di pengadilan, pembelaan yang tidak optimal, dan masih banyak lagi,” paparnya.
Hukuman mati juga menyasar kelompok rentan. Ardi menyebut kelompok seperti lansia, orang miskin, perempuan, buruh migran, dan anak-anak dapat menjadi sasaran hukuman mati.
“Namun di Indonesia masih terjadi penuntutan hukuman mati kepada usia anak,” ujarnya.
Terakhir, Ardi menyinggung kebijakan Grasi yang tidak memiliki parameter yang jelas. Menurutnya, undang-undang tentang grasi tidak memberikan pedoman maupun standar kepada Presiden dan Mahkamah Agung dalam memutus permohonan grasi. Ardi menyebut dalam banyak perkara permohonan grasi, rekomendasi Mahkamah Agung terlihat hanya mengulang bunyi putusan proses hukum sebelumnya.
“Tidak adanya perbedaan pertimbangan rekomendasi MA untuk grasi dan putusan hukum sebelumnya membuat urgensi rekomendasi dari MA dalam sebuah grasi khususnya pidana mati perlu dipertanyakan,” tegasnya.