Pati, Gatra.com– Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ada salah satu ulama yang masyhur namanya, ia adalah Ahmad Mutammakin atau Mbah Mutamakkin. Makamnya yang terletak di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, tidak pernah surut dikunjungi peziarah, khususnya di bulan suci Ramadan, seperti sekarang ini.
Pemerhati Sejarah, Muhammad Farid Abbad mengatakan, Mbah Mutamakkin adalah pendakwah yang memunculkan ulama besar nasional dan bahkan global. Dari keilmuannya, Desa Kajen mengalami kemajuan yang sangat pesat serta menjadi pusat ilmu agama di kabupaten berjuluk Bumi Mina Tani. Di mana di desa tersebut, saat ini terdapat puluhan pondok pesantren (Ponpes), belum lagi pusat pendidikan lain seperti sekolah dan madrasah.
“Para sejarawan sepakat tentang hal ini. Beliau menjadi orang yang membabat alas setelah Mbah Syamsuddin. Dari sini berdirilah pesantren, madrasah bahkan hampir seluruh lembaga-lembaga pendidikan agama di Kajen tidak lepas dari faktor gen dan sanad Mbah Mutamakkin,” ujarnya, Selasa (5/4).
Mbah Mutamakkin juga disebutnya menjadi pelopor penulisan kitab di nusantara. Tradisi inipun dilanjutkan oleh generasi berikutnya di antaranya ialah Mbah Ahmad Syahal Mahfud yang menuliskan sebanyak 11 kitab, Kiai Abdullah Rifai yang menulis lima kitab, dan ulama besar lainnya.
“Jadi Mbah Mutamakkin mewariskan keilmuannya yang menjadi kiblat pengetahuan, menjadi kiblat peradaban. Ilmu dan kaderisasi para ulama para Kiai yang menjadi estafet para kiai-kiai Kajen,” imbuh Pengasuh Pondok Pesantren, Ar-Raudloh Kajen itu.
Ia mengisahkan, sebelum menyiarkan agama Islam, Mbah Mutamakkin merupakan keturunan nigrat dari Keraton Mataram, putra dari Bupati Sumohadinegoro di Tuban, Jawa Timur. Meski berdarah biru, Mbah Mutamakkin sudah terkenal alim sejak kecil. Sehingga menggelitik ayahnya untuk bertanya kepadanya.
Saat diminta memilih Sumohadinegoro, antara kedudukan keraton (dunia) atau kedudukan di akhirat. Mbah Mutammakin kala itu mantap memilih keraton akhirat. Pilihannya ini pun menuntunnya untuk tekun mempelajari ilmu agama Islam hingga ke luar negeri.
“Beliau mencari ilmu di kawasan Jawa Timur, sampai kemudian mencari ilmu ke Yaman. Beliau berguru kepada ulama besar di sana yakni Syaikh Muhammad Zayn Al Mizjaji. Kemudian belajar di Mekah sekaligus menunaikan ibadah haji,” jelasnya.
Setelah menimba ilmu di luar negeri, Mbah Mutamakkin pun berniat pulang ke kampung halamannya. Hanya saja, takdir berkata lain yang membuatnya berada di daerah lain di kabupaten berjuluk Bumi Mina Tani.
“Menurut kisah, di perjalanan beliau dijatuhkan ke laut oleh muridnya dari bangsa jin. Lalu beliau diselamatkan oleh ikan Meladang. Ikan ini yang mengantarkannya ke suatu tempat yang sekarang masuk Kecamatan Margoyoso. Tempat ini akhirnya bernama Desa Cebolek ( yang berarti cebol-cebol melek- dalam bahasa Jawa). Kisah ini diyakini masyarakat sekitar,” tuturnya.
Sesampainya di Cebolek, ia melihat cahaya yang bersinar terang dari suatu tempat. Maka diikutilah cahaya tersebut dan membawanya di sebuah perkampungan yang disebut Kajen. Di sana ia bertemu pendakwah lain yang bernama Syamsuddin.
“Beliau kemudian menjadi murid dari Mbah Syamsuddin dan menikahi putri beliau. Mbah Mutamakkin pun melanjutkan dakwah agama Islam hingga menggantikan mertuanya, sampai akhir hayatnya,” terangnya.