Jakarta, Gatra.com- Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (SAW) dan umatnya menjumpai dua peperangan yang terjadi pada bulan Ramadan; Waq’atul Badr (Perang Badar) dan Fathu Makkah (Pembebasan Makkah). Perang Badar terjadi pada 19 Ramadan 2 Hijriyah, dan Fathu Makkah terjadi pada 10 Ramadan 8 Hijriyah.
Perang Badar dan Fathu Makkah menjadi momen paling bersejarah dalam perkembangan Islam. Perang Badar merupakan pukulan pertama untuk kafir Qurays di Makkah dimana 1000 pasukannya ditaklukkan 310 pejuang muslim. Kemenangan yang gemilang ini semakin mengukuhkan kesolidan umat Islam.
Sedangkan Fathu Makkah merupakan konsolidasi kolosal umat, di mana 12 ribu pasukan Muslimin dari Madinah dan suku-suku yang telah masuk Islam, menyerbu kota Makkah untuk ditaklukkan. Penaklukkan Makkah ini dilakukan tanpa peperangan dan pertumpahan darah setetespun. Bagaimana dengan puasa Rasululullah di saat-saat genting itu?
Rasulullah memasuki Makkah dengan menaiki unta beliau bernama al Qashwa dan menundukkan wajahnya ketika di depan Ka'bah. Tatkala Rasulullah sampai di Ka'bah bersama kaum Muslimin, Nabi SAW mengusap Hajar Aswad seraya bertakbir. Kemudian Rasulullah bertawaf tujuh kali putaran. Setelah itu Rasulullah turun dari untanya dan mendekati Maqam Ibrahim, lalu shalat dua rakaat. Kemudian menuju sumur Zam-zam meminum air Zam-zam dan berwudhu darinya.
Jadi Rasulullah tidak puasa? Benar. Dari (Sa’id) bin Musayyab, sesungguhnya ia ditanya soal puasa di waktu perjalanan, lalu ia menceritakan (sebuah riwayat) bahwa Umar bin Khattab berkata: “Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallah di bulan Ramadhan sebanyak dua kali, yakni perang Badar dan pembebasan Makkah, dan kami berbuka (tidak berpuasa) di kedua peperangan tersebut.”
Riwayat lain (HR. Imam Muslim) menceritakan, ketika sampai di Kura’ al-Ghamim (tempat di antara Makkah dan Madinah), rombongan (Fathu Makkah) kelelahan, Rasulullah SAW meminta satu kantong air setelah shalat ashar dan meminumnya di depan muka umum. Kemudian salah satu sahabat berkata kepadanya, “inna ba’dlan nâs qad shâma—sebagian orang masih tetap berpuasa.” Rasulullah menjawab, “ûlaikal ‘ushâh, ûlaikal ‘ushâh—mereka adalah orang yang bermaksiat.”
Ini menunjukkan pentingnya menerima rukhsah (keringanan) dari Tuhan dan tidak memberatkan diri sendiri, sampai Rasulullah menggelari orang yang tetap berpuasa sebagai pelaku maksiat, tentu saja tujuannya agar mereka semua berbuka. Dalam riwayat lain, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya secara langsung untuk berbuka, dengan tujuan untuk memperkuat diri saat menghadapi musuh.
Abu Sa’id al-Khudri berkata: “Kami berpergian bersama Rasulullah SAW menuju Makkah—yakni dalam tujuan pembebasan kota Makkah—dan kami berpuasa. Kami singgah di sebuah tempat, maka Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya kalian telah dekat dengan musuh, dan berbuka lebih menguatkan kalian.” Ini merupakan rukhsah (disepensasi/keringanan), karena itu sebagian dari kami tetap berpuasa, dan sebagian lainnya berbuka."
"Kemudian kami singgah di tempat lainnya, Rasulullah (kembali) bersabda: “Sesungguhnya kalian sudah berada di depan musuh, dan berbuka lebih menguatkan kalian, maka berbukalah.” Dan ini bukanlah rukhsah (keringanan/disepensasi), maka kami pun berbuka.”
Di riwayat terakhir, Rasulullah meningkatkan level urgensinya, yang semula rukhsah (dispensasi) menjadi perintah (sebuah keharusan), sehingga semua sahabat membatalkan puasanya dan berbuka.
Nah, bagi para pemudik yang melakukan perjalanan jauh, agar konsentrasi berkendara tetap prima, sebaiknya mengikuti perintah Rasulullah untuk berbuka.