Jakarta, Gatra.com – Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengungkapkan pemerintah mencatat Indonesia kehilangan devisa triliunan rupiah karena terdapat dua juta masyarakat berobat ke luar negeri setiap tahun.
Hal itu diungkapkan Yasonna berkaitan dengan perlunya revisi Undang-Undang tentang Kedokteran. Menurut Yasonna, revisi UU tentang Kedokteran diperlukan untuk penguatan sistem kedokteran agar lebih baik dalam memberi pelayanan kepada masyarakat.
“Saat pelayanan semakin baik, maka masyarakat tidak perlu lagi pergi ke luar negeri untuk berobat,” kata Yasonna melalui keterangan tertulisnya, Jumat (1/4/2022).
Berdasarkan informasi yang diperoleh Yasonna, banyak keluhan dari WNI yang studi kedokteran di luar negeri, sulit mendapat izin praktik di Indonesia. Para WNI yang menempuh studi kedokteran di luar negeri harus melakukan penyetaraan ijazah serta mengikuti prosedur Konsil Kedokteran Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Rata-rata memerlukan waktu satu hingga dua tahun untuk menuntaskan semua prosedurnya, dan pastinya membutuhkan biaya.
“Tapi bagaimana mereka mau mengabdi di Indonesia, jika prosesnya dipersulit,” ucapnya.
“Kerangka berpikirnya seharusnya adalah bagaimana menjaga akses layanan kedokteran yang mudah dan murah untuk masyarakat. Indonesia membutuhkan banyak dokter dan masyarakat perlu layanan yang mudah dan murah,” sambung Yasonna.
Izin praktik kedokteran terdiri dari Surat Tanda Registrasi (STR) serta Surat Izin Praktik (SIP), serta diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran (UU 29 tahun 2004). Untuk mendapatkan STR, seorang dokter harus memiliki sertifikat kompetensi yang menjadi kewenangan organisasi profesi, yakni IDI.
Sedangkan untuk mendapatkan SIP, seorang dokter harus memiliki rekomendasi organisasi profesi dari IDI, dan harus diperpanjang setiap lima tahun. Apabila seorang dokter tidak menjadi anggota IDI atau dicabut keanggotaannya dari IDI, maka dokter tersebut bakal kesulitan mendapat rekomendasi untuk persyaratan mendapatkan izin praktik (SIP).
“Jangan sampai ada dokter yang bagus pelayanannya, dan sudah melayani masyarakat secara luas, tapi kesulitan praktik karena terganjal aturan atau dipersulit. Jangan sampai keputusan kemanusiaan berpihak pada industri, kedokteran harus mengutamakan kemanusiaan, bukan bisnis,” tandas Yasonna.