Jakarta, Gatra.com – Selama lebih dari dua tahun, pandemi Covid-19 melanda dunia. Selama itu, industri kafe dan restoran mengalami pukulan berat. Sejumlah pembatasan aktivitas sosial jadi faktor utama anjloknya industri ini, sekalipun pengusaha banyak yang berupaya mengatasi penurunan income dengan menggenjot penjualan secara online.
Sekarang, setelah angka kasus Covid-19 melandai dan relaksasi pembatasan kegiatan masyarakat diterapkan pemerintah, optimisme industri kafe dan resto pun kembali membuncah. Bisnis kafe dan resto untuk dine in (makan di tempat) mulai punya prospek bagus, seiring keinginan pelanggan untuk menikmati makanan sembari berkumpul dengan sahabat dan orang terdekat.
Para pelaku usaha menjalankan bisnis offline yang punya potensi besar dengan sistem online yang dibangun untuk beradaptasi dengan hantaman pandemi. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Bidang Pelatihan Bisnis Apkulindo (Asosiasi Pengusaha Kuliner Indonesia) Pusat, Giri Buana dalam webinar bertajuk “Mengulik Kiat Bangkit Usaha Kafe & Restoran di Era Pandemi” yang digelar di Jakarta, Rabu, 30 Maret 2021.
Giri menyatakan, digitalisasi bisnis menjadi suatu keniscayaan. Potensi pasar dine in kini mulai dibidik pelaku usaha pasca pandemi. “Sekarang saatnya untuk kembali menjalankan bisnis kafe dan resto secara offline lagi. Enggak ada salahnya sistem online dan offline berjalan simultan,” kata Giri.
Ia memastikan, regulasi PPKM yang membatasi kegiatan masyarakat menjadi faktor utama yang menghambat jalannya bisnis kafe dan resto. Di awal 2022, potensi di bisnis ini kembali membesar. “Ini kesempatan, karena salah satu pangsa pasar terbesar adalah beraktivitasnya anak sekolah dan kantor. Itu membuat kami optimistis untuk kembali membangun bisnis kuliner. Asal punya konsep dan target market yang jelas,” ungkapnya.
Diketahui, sepanjang 2019, total Usaha Penyedia Makan Minum di Indonesia sejumlah 4.008.927 usaha. Jumlah tersebut terdiri dari 12.602 usaha skala menengah besar (UMB) dan 3.996.325 usaha skala menengah kecil (UMK).
Selama tahun tersebut, akumulasi pertumbuhan industri makanan minuman (mamin) berhasil menyentuh 7,78% (cumulative to cumulative/coc). Namun, pertumbuhan itu tiba-tiba terganggu Covid-19, sehingga pada 2020 industri mamin nasional hanya tumbuh 1,58% (coc).
CEO Pusat Riset Visi Teliti Saksama, Rikando Somba mengatakan, penurunan pertumbuhan industri mamin salah satunya dipengaruhi karena kecenderungan masyarakat untuk menekan atau mengurangi pengeluaran. “Hal ini merupakan hasil analisis kami berdasarkan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan peningkatan total simpanan bank pada awal 2022,” ujar Rikando.
Hal itu sejalan dengan data Lembaga Penjain Simpanan (LPS) Per Januari 2022 yang menyebutkan nilai total simpanan bank umum tercatat sebesar Rp7.439 triliun. Jumlah tersebut naik sebesar Rp800,4 triliun atau bertambah sebanyak 12,06%(YoY).
Pertumbuhan jumlah simpanan itu menurutnya tak terlepas dari adanya sikap yang terpecah di masyarakat. Di satu sisi, ada kelompok masyarakat yang optimistis, kondisi sudah aman dan pandemi segera berakhir Di sisi lain, ada kelompok masyarakat yang masih paranoid alias khawatir dengan pandemi.
Uniknya dari hasil survei, Rikando melanjutkan, kedua kelompok sama-sama punya keinginan untuk menikmati kuliner dine in di kafe atau resto, setidaknya untuk melepas penat. Sikap ini yang membuat ceruk bisnis kafe dan resto offline menggeliat. “Dari dua kelompok ini, ada satu kesamaan, sama-sama sebenarnya ingin keluar menikmati kuliner, berwisata dan sebagainya,” papar Rikando.
Ia menambahkan dari beberapa segmen responden, ada responden yang menghabiskan anggaran Rp1-5 juta per bulan per individu untuk wisata kuliner atau ngopi. “Bahkan ada yang sampai menghabiskan Rp30 juta, meski jumlahnya hanya 3%,” tutur Rikando.
Kesamaan lainnya, mayoritas dari kedua kelompok, sama-sama punya sikap mementingkan protokol kesehatan dengan mengenakan masker atau menggunakan hand sanitizer. “Uniknya, ada faktor keramaian sebagai penentu. Ketika melihat satu kafe yang akan dikunjungi, kapasitasnya lebih dari 75%, sebanyak 88,39% responden memilih membatalkan niatnya untuk berkunjung dan mencari lokasi lain,” imbuhnya.
Di kesempatan yang sama, Asisten Deputi Konsultasi Bisnis dan Pendampingan Deputi Bidang Kewirausahaan Kemenkop UKM Destry Anna Sari mengimbau kepada para pelaku UMKM, khususnya di sektor kuliner serius menjalankan digitalisasi usaha.
Ia menyebut, saat ini terdapat 64,2 juta UMKM di Indonesia. Jumlah tersebut mencakup 99,9% usaha di nusantara. Sayangnya, dari 99% populasi usaha, hanya 18,83% yang terhubung secara digital.“Sektor kuliner merupakan potensial winner di masa pandemi, apalagi yang memperhatikan aspek kesehatan, ramah lingkungan dan berbasis alam,” ujar Destry.
Dengan digitalisasi, lanjut Destry, para pelaku UMKM kuliner bisa punya akses pasar yang lebih luas. Bahkan, bisa mengakses pengadaan barang dan jasa pemerintah secara online. Ia menjamin, pemerintah akan memprioritaskan produk lokal khususnya dari UMKM untuk mengisi kebutuhan barang dan jasa pemerintah.
“Pengadaan barang dan jasa pemerintah nilainya sampai Rp400 triliun pertahun. Termasuk ada kebutuhan makanan dan minuman di situ. Resto dan kafe bisa menawarkan paket-paket makanan dan minuman untuk acara pemerintah,” pungkasnya.