Jakarta, Gatra.com – Pakar Studi Kebijakan, Prof. Ginandjar Kartasasmita, menyebut bahwa di tengah konflik antara Rusia dan Ukraina, Rusia sesungguhnya bukan sedang melawan Ukraina, melainkan melawan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
“Dari awal sejarah berdirinya NATO itu adalah untuk menghadapi Uni Soviet yang kini menjadi Rusia. Kalau enggak, buat menghadapi siapa lagi?” ujar Ginandjar dalam sebuah webinar yang digelar Universitas Paramadina, Rabu, (30/3).
Ginandjar menambahkan bahwa dalam pandangan dunia Barat, serangan Rusia terhadap Ukraina merupakan serangan ofensif atau agresif. Namun, katanya, dari sudut pandnag Rusia, serangan tersebut merupakan upaya defensif Rusia atas ekspansi NATO di dekat wilayahnya.
“Bagi Rusia [serangan terhadap Ukraina] defensif dalam upaya mencegah Ukraina masuk NATO yang akan menjadi ancaman keselamatan Rusia sendiri. Maka sebelum itu terjadi, Rusia serang Ukraina lebih dulu,” ujar Ginandjar.
Ginandjar pun menyebut bahwa situasi serupa pernah terjadi di wilayah Indonesia dan Malaysia. Ia menyebut Inggris sebagai aktor intelektual dalam menciptakan Federasi Malaysia pada awal dekade 1960-an. Oleh Presiden Soekarno kala itu Federasi Malaysia disebut sebagai boneka Inggris.
Indonesia yang pada saat itu dipimpin Bung Soekarno tak menyetujuinya karena menilai Malaysia tak mengindahkan Perjanjian Manila. Peristiwa itu dicatat sejarah sebagai Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
“Bung Karno melihat ini sebagai ancaman karena itu buatan neokolonialisme. Maka Bung Karno mendahului dengan [Dwikora],” ujar Ginandjar.
Salah satu isi Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang diumumkan Soekarno pada 3 Mei 1964 adalah membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia. Di kemudian hari, peristiwa ini juga dikenal sebagai “Ganyang Malaysia”.