Kontestasi Pemasok Setrum Kawasan Hijau
Tiga pihak berpacu untuk menjadi pemasok listrik Kawasan Industri Hijau Kalimantan Utara. Ada pengusaha, konglomerat kerabat pejabat, hingga investor asing yang di-backup orang lingkar Istana.
Ditunjuk menjadi salah satu pengelola Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI), yang berada di Kabupaten Bulungan, Kalimatan Utara (Kaltara), membuat Garibaldi "Boy" Thohir cepat beraksi.
Ia sebelumnya, melalui PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI), menjadi salah satu pihak yang mendapatkan izin usaha kawasan industri (IUKI). Dengan IUKI, PT KIPI punya hak mengembangkan KIHI.
Kesempatan pun segera diraih. Salah satu yang diincar, proyek pemasok energi terbarukan untuk KIHI. Kongsi pun mulai direngkuh dengan PT Kayan Patria Propertindo (KPP), perusahaan lain yang juga mendapat ijin pengelolaan di KIHI.
PT KPP adalah perusahaan lokal terbesar di Kaltara yang dimiliki Lauw Juanda Lesmana. Bisnis konglomerat Kaltara ini mencakup pertambangan, perkebunan, properti hingga perkapalan.
PT KPP akan ditugaskan menyuplai listrik hijau ke industri yang berada di lahan kelolaannya di KIHI. Sumbernya dari PLTA Sungai Mentarang, yang berada di Kabupaten Malinau, Kaltara. Pengelola PLTA Mentarang adalah PT Kayan Hydropower Nusantara (KHN), yang juga terafiliasi dengan KPP Group.
Sejauh ini, izin analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau amdal PT KHN belum keluar. Jika izin amdal tidak keluar, maka pembangunan PLTA Mentarang bisa macet. Karena untuk mengurus izin-izin lainnya, seperti izin pembangunan dan izin usaha, PT KHN harus membutuhkan izin Amdal.
Gubernur Kalimantan Utara, Zainal A. Paliwang, mengatakan bahwa penerbitan izin amdal pembangunan PLTA Mentarang harus mengikuti aturan yang berlaku. Agar di kemudian hari, pembangunan PLTA itu menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan tidak berdampak buruk bagi pengerjaan konstruksinya.
Menurut Zainal, amdal adalah salah satu dokumen yang menjadi modal dasar dalam pemberian izin untuk usaha selanjutnya. "Permasalahan Amdal ini sudah beberapa kali dibahas bersama para tim dan pakar, jadi saya inginkan Amdal untuk PLTA Mentarang ini harus benar-benar memberikan masukan yang komprehensif," katanya.
***
Pengelola KIHI satu lagi, yaitu PT Indonesia Strategis Industri (ISI), juga berminat mengisi pasokan listrik di wilayah ini. Pemiliknya, Tjandra Limanjaya, yang sebenarnya sejak awal adalah pemrakarsa KIHI. Kebetulan ia juga berpengalaman di sektor pembangkit listrik. Lewat perusahaan PT General Energy Bali (GEB), Tjandra menggarap pembangkit listrik tenaga uap di Celukan Bawang, Bali.
Rencananya, suplai listrik hijau untuk kawasan industri yang dikelola PT ISI nantinya berasal dari PLTA Sungai Kayan. Pengembang pembangkit ini yaitu PT Kayan Hydro Energi (KHE), kepemilikannya juga ada di tangan Tjandra. Dibandingkan PLTA Mentarang, PLTA Kayan yang paling siap mengaliri listrik ke KIHI.
Dikonfirmasi Gatra, Direktur Operasional PT KHE, Khaerony, mengatakan bahwa PLTA Kayan akan mengaliri listrik ke tenant-tenant yang ada di kawasan industri PT ISI. Calon-calon tenant sudah ada. Mereka berasal dari industri smelter alumunium, nikel, baja, hingga pabrik hidrogen dan amoniak, yang membutuhkan suplai lisrik yang tidak sedikit.
PLTA Kayan terdiri dari lima bendungan dengan rincian kapasitas, bendungan I sebesar 900 megawatt (MW), bendungan II sebesar 1.200 MW, bendungan III sebesar 1.800 MW, bendungan IV sebesar 1.800 MW, dan bendungan V sebesar 3.200 MW.
Total kapasitasnya, jika terbangun mencapai 9.000 MW. Agar lima bendungan bisa terbangun dan beroperasi, PT KHE membutuhkan setidaknya Rp250 triliun.
Pembangunan PLTA Kayan sempat terseok-seok. Digagas 10 tahun lalu, konstruksi PLTA Kayan belum juga dimulai. Menurut Khaerony, ada beberapa persoalan sehingga pembangunan PLTA Kayan lelet. Pertama, akses menuju lokasi pembangunan cukup ekstrim. Akibatnya distribusi material dan orang terhambat.
"Kalau lewat sungai, harus menunggu air pasang. Kalau darat, karena jalannya belum bagus dan itu belum bisa dilewati untuk mengangkut alat berat. Nah ini kendala-kendala di dalam perencanaan pembangunan kami. Jadi bukan molor. Ditambah pandemi lagi," Khaerony menjelaskan.
Persoalan kedua yaitu pengurusasn izin yang memakan waktu lama. Salah satunya, izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau Kementerian Investasi, untuk mulai tahap konstruksi. Pihak PT KHE harus menunggu dua tahun, sebelum IPPKH dikeluarkan BKPM pada akhir tahun lalu.
Itu pun IPPKH yang dikeluarkan BKPM baru untuk bendungan I dengan kapasitas 900 MW. Tanpa izin tersebut, PT KHE tidak bisa masuk ataupun melakukan pengerjaan proyek bendungan karena lokasinya berada di kawasan hutan. "Kalau enggak ada izin pakai kawasan, kita bisa disebut kriminal. Jangankan mengelola, masuk ke dalam saja enggak boleh," kata Khaerony.
Menurut Khaerony, pihaknya masih menunggu IPPKH untuk empat bendungan lagi, sembari mulai melakukan pembersihan lahan dan pembangunan akses jalan ke lokasi bendungan I. "Semoga dalam waktu dekat ini bisa terbit dua sampai lima bendungan," ujarnya.
***
Cerita soal calon pemasok listrik KIHI tambah menarik saat investor asing juga berniat menggelontorkan uangnya ke bisnis pembangkit hijau di Kalimantan Utara. Investor itu pengusaha tajir dari Australia, Andrew Forrest, melalui perusahaannya, Fortescue Metals Group Ltd.
FMG memiliki dua anak perusahaan yang beroperasi di Indonesia, yaitu PT Indonesia Papua Fortescue Future Industries dan PT Indonesia Fortescue Infrastructure (IFI). PT IFI inilah yang didorong untuk menggarap pembangkit hijau di Kalimantan Utara.
Tersiar kabar, PT IFI berencana mencaplok PLTA Kayan. Itu artinya, mereka harus merebut proyek itu dari PT KHE. Kabarnya backup Andrew adalah orang kuat di pemerintahan, Menteri Koordinasi Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Sinyal Luhut mendukung FMG, bisa dirasakan saat ia menegaskan akan mencabut izin perusahaan yang proyeknya mandek di Kalimantan Utara. "Kita cari yang paling cepat, langsung dan ada duitnya. Jadi jangan omong-omong saja," kata Luhut.
Pernyataan ini cukup serius, karena pada September 2020 Luhut sudah bertemu dengan Andrew Forrest. Mereka menandatangani nota kesepahaman pengembangan energi hijau di Indonesia. Bisa jadi, PT KHE berpotensi terdepak dari proyek PLTA Kayan dan digantikan FMG.
Namun menurut Khaerony, pihaknya sudah memperoleh izin tetap untuk membangun PLTA Kayan. Sehingga pemerintah tidak bisa sembarangan mengganti PT KHE sebagai pengembang PLTA Kayan.
Menurutnya, pembangunan lima bendungan PLTA Kayan juga tidak bisa dikelola oleh perusahaan yang berbeda-beda. Karena dampaknya bisa buruk, yaitu bencana banjir. "Kalau pengelola beda-beda bisa saling menyandera air. Jadi konsep pembangunan bendungan ini, saling berkaitan dan bentuknya bertingkat," katanya.
Khaerony juga menjelaskan bahwa secara finansial, mereka mampu merampungkan pembangunan lima bendungan PLTA Kayan. Pasalnya, proyek ini didukung oleh investor kakap yaitu, Powerchina, BUMN asal Cina yang membangun PLTA terbesar di Cina, Three Georger. "KHE juga sudah dapat peringkat 5A3 dari Dun & Bradstreet," katanya.
Untuk pembeli listriknya, yaitu tenant-tenant yang ada di KIHI, PT PLN persero hingga diekspor ke Malaysia. "Yang jelas kawasan industri KIHI yang dikelola PT ISI sudah bisa ter-cover dari PLTA Kayan," ujarnya.
Menurut Khaerony, kalaupun Fortescue mau masuk ke PLTA di Kalimantan Utara, butuh waktu yang lama karena perusahaan itu baru memulai mengurus perizinan. Untuk menentukan satu titik lokasi bendungan saja membutuhkan studi yang panjang, bisa berbulan-bulan. "Karena itu kami santai saja, tidak takut [direbut], karena izin lima bendungan itu satu kesatuan. Enggak bisa dipotong-potong," katanya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Gatra, jika FMG melalui PT IFI berhasil mengelola PLTA Kayan ataupun mengambil sebagian bendungan PLTA Kayan, listriknya akan dialirkan ke kawasan industri PT KIPI.
Perusahaan ini memang punya peluang untuk ditunjuk Pemerintah, mengingat latar belakang yang dimiliki. Dari laporan keuangan FMG semester I 2021 posisi asetnya per akhir Juni 2021 mencapai US$28,38 miliar atau sekitar Rp400an triliun. Angka tersebut naik dibandingkan posisi akhir 2020 yaitu sebesar US$24,47 miliar.
Pendapatan FMG juga tidak main-main. Sepanjang semester I 2021, pendapatannya menyentuh US$10,29 miliar atau sekitar Rp144 triliun. Angka tersebut naik dibandingkan dengan tahun 2020, yaitu sebesar US$4,73 miliar.
***
Pihak FMG enggan berkomentar atas rencana mereka mencaplok PLTA Kayan dari PT KHE dan mengembangkan PLTA di Kaltara. Media Affair FMG, Lillian Hannock, melalui surat elektronik kepada Gatra mengatakan bahwa pihaknya sudah menandatangani akta kesepakatan dengan pemerintah pada September 2020.
"Kesepakatan itu guna melakukan studi pengembangan kelayakan proyek yang memanfaatkan sumber daya tenaga air dan panas bumi di Indonesia. "Untuk mendukung energi hijau skala besar dan operasi industri hijau," ujar Hannock.
Menurut Hannock, pihaknya akan melakukan studi lebih lanjut pada 2022 dengan tujuan untuk mengembangkan fasilitas pemrosesan industri yang berpotensi menghasilkan minimal 600.000 ton hidrogen hijau per tahun di Indonesia. "Pengembangan potensi tunduk pada hasil studi lebih lanjut dan persetujuan Dewan Fortescue," katanya seperti dilaporkan wartawan Gatra Fakhry Arkan.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan & Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, menegaskan bahwa PLTA Kayan yang dikembangkan oleh PT KHE masih berproses. Secara umum, Andriah menilai progres pembangunan PLTA Kayan berjalan cukup baik.
"Mengingat proyek ini merupakan proyek yang besar, maka diperlukan berbagai ijin/rekomendasi yang harus dipenuhi agar comply terhadap peraturan yang sudah berlaku," ujar Andriah kepada wartawan Gatra, Muhammad Muttaqin, Selasa pekan lalu.
Andriah mengungkapkan, sejauh ini PT KHE telah mendapatkan 31 perizinan atau rekomendasi dari 33 izin yang diperlukan termasuk izin konstruksi Bendungan Kayan pertama dan di lokasi proyek sudah dilakukan persiapan untuk konstruksi.
Kendati demikian, Andriah mengakui terdapat sejumlah tantangan dalam pembangunan PLTA Kayan. Dari sisi administrasi misalnya terkait dengan percepatan perizinan, dan di sisi pemanfaatannya masih terkendala kesiapan pengembangan kawasan industri di sekitar lokasi PLTA Kayan, yang nantinya akan menjadi pengguna dari listrik yang dihasilkan.
Untuk pengembangan Kawasan industri di Kalimantan Utara, Andriah menjelaskan, saat ini pemerintah pusat dan daerah bersinergi untuk menciptakan demand, sehingga pada saat pembangkit listrik beroperasi telah ada demand yang akan menyerap energi yang dihasilkan. "Mengingat dari sisi supply, cukup besar energi bersih yang bisa dihasilkan," ujarnya.
Untuk diketahui, berdasarkan rencana penyediaan usaha tenaga listrik dari PT KHE, pembangunan PLTA ini dimaksudkan untuk menyediakan listrik bagi Kawasan Industri Sangkulirang yang akan dibangun di Kutai Timur, Kalimantan Timur.
"Kawasan Industri Sangkulirang sendiri dikembangkan oleh PT Indonesia Sentra Ekonomi (ISE). "Namun juga tidak menutup opsi untuk supply kebutuhan listrik di KIPI Tanah Kuning," ia menambahkan.
Andriah mengakui, hingga saat ini KHE tetap berkomitmen melanjutkan pembangunan PLTA Kayan. Hal tersebut dapat dilihat dari perizinan yang telah didapatkan, persiapan konstruksi di lapangan, dan saat ini juga sedang berproses untuk perpanjangan IPPKH.
Sebagaimana yang diketahui, PT KHE telah mendapatkan penetapan wilayah usaha dan perpanjangan izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTL). "Izin wilayah usaha sendiri dapat berakhir apabila pemegang wilayah usaha tidak mendapatkan IUPTL, IUPTLU berakhir dan tidak diperpanjang, atau IUPTLU dicabut," ia menjelaskan.
Saat ditanya tentang kemungkinan masuknya investor lain dalam pembangunan PLTA Kayan, Andriah tak memberikan jawaban. Namun dirinya menjelaskan bahwa potensi hidro di Kalimantan Utara cukup besar dan tidak hanya berada di Sungai Kayan. Potensi itu tentu saja harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, seperti pengembangan PLTA di Sungai Mentarang.
"Sudah ada beberapa investor lain yang berminat untuk mengembangkan PLTA di Kalimantan Utara, seperti investor dari Australia juga menunjukkan minat untuk mengembangkan potensi PLTA," ia menjelaskan.
Hendry Roris Sianturi
Terbit di Majalah Gatra, nomor 18 Tahun 28 edisi 2 Maret 2022