Palembang, Gatra.com – Sejumlah pengacar dan aktivis kemanusiaan dan lingkungan di Sumatera Selatan (Sumsel), tidak berhenti menggalang solidaritas untuk Munarman. Dakwaan terorisme oleh instrument penegakan hukum negara, dinilai satu bentuk kriminalisasi atas kekritisan bersangkutan terhadap rezim hari ini.
“Kriminalisasi yang menimpa Maman (sapaan kepada Munarman), ini berpotensi menimpa siapa saja (aktivis) yang kritis. Rezim hari ini kembali lagi ke masa-masa kegelapan (orde baru),” ujar Dhabi K Gumayra advokat sekaligus aktivis lingkungan dan kemanusian di Sumsel, pada malam Solidaritas untuk Munarman, di Palembang, Jumat (25/3).
Menurutnya, pembungkaman terhadap aktivis yang kritis sebagaimana pada era orde baru (Orba), juga terbilang massif di pemerintahan (oligarki) menginjak usia perak reformasi hari ini. Kasus Munarman, satu dari sekian banyak contoh dapat menjerat para aktivis atau orang-orang yang kritis terhadap pemerintah.
“Semakin menunjukkan rezim hari ini anti kritik dan kembali ke masa gelapan, beda cara dan istilah saja. Substansinya sama. Kalau pemerintahan saat ini, tergantung komunitas seseorang itu berada. Andai saja Maman (begitu ia menyapa Munarman) berada di lingkungan petani, saya rasa ia akan dijerat dengan pasal provokasi. Berhubung berkecimpung di organisasi Islam, maka ditempel stigma terorisme,” terangnya.
Dhabi, yang juga merupakan penasihat hukum Munarman bersama ratusan lawyers dari Palembang, ini menilai, tuduhan terorisme yang dijatuhkan kepada Munarman, sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), bentuk kriminalisasi atas kekritisannya terhadap rezim saat ini. Fakta-fakta di persidangan banyak kejanggalan, seperti keterangan saksi yang diduga didesain agar Munarman, tidak lepas dari jeratan hukum yang didakwakan.
“Materi dakwaan JPU itu lebih ke opini. Banyak fakta-fakta yang sengaja dibuat untuk menjerat Maman,” jelasnya menceritakan beberapa kali ikut dalam persidangan Munarman.
Yuliusman, Direktur Eksektuf Walhi Sumsel, yang ikut tergabung dalam solidaritas menyatakan bahwa potensi (kriminalisasi) yang dapat menimpa dirinya sebagai nakhoda dari sebuah lembaga gerakan lingkungan hidup, di mana banyak mengkritisi kebijakan pemerintah yang berimplikasi pada kerusakan lingkungan, tidak akan menyurutkan baginya untuk terus bersuara (kritis).
“Saya memastikan bahwa, bentuk intimidasi yang dilakukan pemerintah tidak akan menyurutkan gerakan sipil sebagai kontrol sosial terhadap pemerintah,” ujarna.
Baik Dhabi maupun Yuliusman juga aktivis lainnya, menegaskan bahwa tidak ada sejarahnya Munarman, memiliki idiologi seperti yang dituduhkan (teroris). Sejak berkiprah di dunia aktivis, alumni FH Universitas Sriwijaya, berdedikasi untuk hak asasi manusia (HAM), serta membangun gerakan untuk pelestarian lingkungan.
Mereka juga menilai, sikap yang ditunjukkan kepada rezim hari ini direspon sedemikian rupa hingga pengkriminalisasian untuk membungkam kekritisannya, yang dianggap pengganggu. Kekuasaan oligarki menancapkan cengkeramannya, yang semakin ke sini kebijakan yang dilahirkan dirasakan kian menyulitkan masyarakat.
“Pola-pola pembungkaman dilakukan sedemikian rupa, bahkan aktivis yang selama ini kritis menyuarakan kepentingan masyarakat dibuat terkotak-kotak sehingga terkesan saling bersiteru sehingga stigma yang terbangun di publik negatif,” timpal M Hairul Sobri, Ketua Dewan Daerah Walhi Sumsel.
Dukungan Buat Munarman
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur (Jakut), DKI Jakarta, mengagendakan sidang pembacaan materi putusan terhadap Munarman, pada 6 April 2022. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Munarman, dengan hukuman pidana 8 tahun penjara.
Menghadapi agenda putusan tersebut, para aktivis kemanusian di Palembang, menggagas berbagai kegiatan, bukan hanya bersifat memberikan dukungan moral kepada Munarman, melainkan juga memberikan pencerahan kepada masyarakat luas terkait stigmatisasi terhadap para aktivis kritis kepada kebijakan pemerintah yang dinilai tidak menjawab permasalahan rakyat pada banyak hal.
“Ruang-ruang diskusi yang kami bangun, bukan hanya persoalan kriminalisasi yang dialami Munarman. Tetapi, menjadi catatan bahwa tidak menutup kemungkinan pemerintah juga ‘me-Munarmankan’ aktivis yang kritis. Terlalu banyak contoh menunjukkan rezim hari ini anti kritik, yang tidak ubahnya pada era orde baru,” ujar Lestari Kadariah, aktivis pemerempuan sekaligus lawyer yang tergabung tim PH Munarman.
Sementara, Dr Tarech Rasyid Rektor Universitas IBA Palembang, melihat persoalan yang dialami Munarman, bentuk kemunduran ruang demokrasi. Stigmatisasi teroris atau komunis itu disematkan kepada aktivis atau orang-orang yang kritis, begitu mudah diberikan pemerintah. Belum lagi bazer-bazer yang dibuat begitu massif untuk memframing baik rezim hari ini.
“Begitu sebaliknya. Sikap kritis masyarakat terhadap pemerintah dianggap sebagai pengacau atau stigma negatif lainnya. Saya stigma itu yang disematkan kepada Munarman, sebagai bentuk pembungkaman. Ini sangat berbahaya, rakyat dibuat kacau. Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang menimbulkan kekacauan?,” katanya.