Jakarta, Gatra.com – Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, melaporkan 8 perusahaan ke Direktorat Subdit Pengaduan Masyarakat Pidana Khusus (Dumas Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) karena diduga mengekspor minyak mentah kelapa sawit atau CPO yang ditaksir merugikan negara Rp5–6 triliun.
“Potensi kerugiannya Rp5-6 triliun untuk 1 tahun 2021 saja, kehilangan potensi pajak PPN. Itu satu provinsi, Kaltim. Yang Riau katanya Rp10–15 triliun karena Riau lebih gede,” katanya di Gedung Bundar Pidsus Kejagung, Jakarta, Kamis (23/3).
Boyamin menyampaikan, ini untuk melengkapi laporan MAKI sebelumnya soal kasus dugaan tindak pidana ekonomi terkait kelangkaan dan mahalnya minyak goreng pada Selasa lalu (15/3).
Sedangkan saat dikonfirmasi nama-nama 8 perusahaan yang diduga mengekspor minyak mentah kelapa sawit tersebut, Boyamin enggan menyebutkan. Namun ia memastikan telah menyampaikannya kepada Dumas Pidsus Kejagung.
Menurutnya, ke-8 perusahaan tersebut merupakan perusahaan-perusahaan besar Indonesia yang mempunyai kebun sawit di Kalimantan Timur (Kaltim).
“Bahasa saya, ini Liga Spanyol, liga besar itu juaranya hanya Barcelona, Madrid putar balik itu-itu saja. Cek saja yang punya sawit dan CPO siapa. Ini punya afiliasi saham dan segala macam,” katanya.
Menurutnya, angka potensi kerugian negara Rp5–6 triliun itu hanya untuk tahun 2021. Belum lagi kalau menelisik tahun sebelumnya, 2020. Ia mengaku masih mencari data-data, apakah terjadi hal serupa di tahun tersebut.
“Ada sih tulisannya tapi aku datanya belum punya. Kalau bicarara dokumen, ada pemberian izin 2020, 2019, ada tapi jumlah belum punya,” ucapnya.
Boyamin lebih lanjut menyampaikan, pemerintah seharusnya sudah tahu akan terjadi kelangkaan minyak goreng pada tahun 2021 karena perusahaan-perusahaan berbondong-bondong mengekspor CPO.
“Dari datanya itu Rp100 miliar, itu sampai 40 kali lipat target dari pendapatan bea keluar karena ternyata ekspor CPO langsung melimpah,” katanya.
Ia menjelaskan kalkulasi potensi kerugian dari eskpor CPO atau minyak mentah kelapa sawit yang dilakukan oleh 8 perusahaan tersebut. Menurutnya, mereka lebih memilih ekspor minyak mentah kelapa sawit karena lebih cepat mendapatkan uang.
“Ya kalau mengolah menjadi minyak goreng itu butuh 3 bulan. Untungnya yang masuk ke perusahaan ya terpotong PPN, tenaga kerja, dan operasional pabrik,” katanya.
Kalau minyak mentah kelapa sawit itu diproduksi menjadi minyak goreng, untungnya sekitar Rp10 triliun. Begitupun kalau minyak mentah tersebut langsung diekspor juga angkanya sama Rp10 triliun.
“Ya langsung saja dapat uang sekarang daripada 3 bulan lagi. Enggak ada semangat membangun bangsa, kerugiannya itu tadi sampai sekitar Rp5–6 triliun,” katanya.
Potensi kerugian negara sekitar Rp5–6 triliun tersebut, lanjut Boyamin, di antaranya dari PPN dan tidak terserapnya secara maksimal bea keluar. Tidak terserapnya bea keluar ini karena kalau CPO jadi minyak goreng, itu harganya naik sama-sama 5%. “Tapi kalau CPO harganya 100, jadi minyak goreng kan bisa 2 kali lipat jadi 200. 5% dari 200 kan 10. Kalau dari 100 kan cuman 5,” katanya.
Kemudian, bahan baku harusnya bisa diolah di perusahaan industri sehingga memiliki nilai yang lebih tinggi dan meningkatkan devisa ekspor yang lebih tinggi, ini tidak tercapai. Ekspor CPO membuat bahan baku hanya dinikmati oleh perusahaan luar negeri.
“Terus investasi lari ke luar negeri karena bahan baku berupa CPO-nya diekspor, sudah enggak ada orang investasi lagi di Indonesia. Ngapain investasi bikin pabrik minyak goreng di sini,” ujarnya.
Tidak adanya investor berinvestasi untuk mengolah bahan baku karena CPO-nya langsung diekspor. “Wong di sana sudah langsung menerima CPO, bikin bio solar juga begitu, terus tidak bertambah investasi dan tenaga kerja. Berikutnya, otomatis perusahaan-perusahaan juga tidak berorientasi pengolahan,” katanya.