Oleh:
Satriwan Salim
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Pengajar di Labschool UNJ
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) tengah membuat Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Uji publik juga dilakukan. Banyak kejanggalan terasa, baik dalam konteks uji publik sebagai syarat formil maupun materilnya.
Tak heran ragam organisasi pendidikan dan guru, asosiasi penyelenggara pendidian serta perguruan tinggi mengkritik. Ada tiga (3) tinjauan kritis sebagai refleksi sekaligus evaluasi RUU Sisdiknas yang patut dipikirkan Kemdikbudristek.
PR Kemdikbudristek
Pertama, Kemdikbudristek punya pekerjaan rumah menggunung. Mestinya berkonsentrasi lakukan pemulihan dampak pandemi Covid-19 terhadap pendidikan nasional. Revisi UU Sisdiknas sebenarnya kurang tepat momentumnya sekarang. Pandemi membuat pendidikan kita terpuruk selama dua (2) tahun.
Pandemi mengakibatkan siswa mengalami ketertinggalan pembelajaran (learning loss). Siswa kehilangan kompetensi yang dipelajari sebelumnya, tidak mampu menuntaskan pembelajaran di jenjang kelas, sehingga mengalami efek majemuk karena tidak menguasai pembelajaran pada setiap jenjang (Kemdikbudristek, 2022).
Makin menyedihkan siswa keluarga miskin, tinggal di daerah terpencil atau penyandang disabilitas, terus tertinggal dari teman seusianya di jenjang kelas yang sama. Kesenjangan pembelajaran makin tinggi di masa pandemi.
Tak hanya itu, persoalan guru pun masih banyak, diantaranya aspek kompetensi. Bank Dunia (2020) melaporkan, pengetahuan guru di bidang matematika dan bahasa “rendah”. Sedangkan untuk pedagogi “sangat rendah”, ketiganya masih di bawah standar minimum. Walaupun muncul resistensi dari (organisasi) guru, tapi suka tidak suka faktanya demikian.
Selain realita ketimpangan digital antarwilayah yang semakin menganga selama pembelajaran jarak jauh (PJJ), rendahnya kompetensi guru tentu berdampak kepada kualitas PJJ. Memang guru bukan faktor tunggal, namun PJJ selama hampir 2 tahun diakui Kemdikbudristek berjalan tidak efektif.
Di sisi lain, angka kekurangan guru Aparatur Sipil Negara (ASN) di sekolah negeri mencapai 1,3 juta orang. Indonesia mengalami darurat kekurangan guru ASN. Sedangkan janji Nadiem Makarim mengangkat 1 juta guru gagal terpenuhi, tidak sampai 300 ribu nyatanya.
Fakta lain, Satgas Covid-19 menyebut hingga 16 Juli 2021, sebaran kasus Covid-19 usia anak sekolah di bawah 18 tahun mencapai 12,83 persen dari semua kasus konfirmasi positif di Indonesia. Artinya, sebanyak 351.336 anak sudah terpapar, bisa berakibat jangka panjang pada kesehatan anak.
Ketimbang tergesa-gesa membahas RUU Sisdiknas, mestinya energi Kemdikbudristek berkonsentrasi menyelesaikan masalah di atas. Bekerja ekstra dan jangan grasa-grusu.
Uji Publik Tidak Partisipatif
Kedua, aspek formal proses uji publik. Pelibatan publik (stakeholder pendidikan) minimalis dalam pembahasan. Format uji publik oleh Kemdikbudristek terkesan administratif. Pemangku kepentingan pendidikan yang dilibatkan terbatas, pun durasinya.
Ketika kami diundang uji publik, durasi tiap organisasi bicara dibatasi lima menit. Pertemuan pun hanya dua jam. Ada 19 Bab, 155 Pasal, dan 260 halaman Naskah Akademik (Nasmik) yang mesti dibaca, dipelajari, dan dikomentari.
Uji publik berjalan tak dialogis. Bagaimana mau dialogis waktunya sempit. Padahal partisipasi publik dalam proses penyusunan hingga tahapan akhir sebuah peraturan perundang-undangan menjadi aspek fundamental wajib dipenuhi.
Pasal Bermasalah
Ketiga, aspek materi pasal dan Nasmik RUU Sisdiknas. Ditemukan pasal kontradiktif dan tidak tegas (pasal karet). Seperti kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar dan menengah (Pasal 78). Namun yang dimaksud adalah pembiayaan dasar, itu pun diberikan kepada satuan pendidikan yang memenuhi kriteria (Pasal 80).
Pasal ini membuka lebar diskriminasi khususnya bagi sekolah swasta. Sehingga melegitimasi Permendikbud No. 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler yang terbukti tidak berkeadilan. Karena sekolah penerima dana BOS bersyarat minimal 60 peserta didik selama 3 tahun terakhir.
Sehingga sekolah kurang dari itu tak berhak memperoleh biaya pendidikan dari pemerintah. Nyata berlawanan dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 dan 2, bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya.
Ada juga pasal tidak tegas, berpotensi disalahgunakan. Pendidikan menyiapkan pelajar menjadi warga negara yang memberi kontribusi positif bagi masyarakat (Pasal 49). Apa maksud “kontribusi positif”? Positif menurut pemerintah atau masyarakat?
Dalam perspektif pemerintah, saat pelajar demontrasi menolak RUU Cipta Kerja atau saat pelajar ikut bersolidaritas menolak tambang di Desa Wadas Purworejo, rasanya tak bakal masuk kontribusi positif (tentu sebaliknya bagi rakyat). Nasmik RUU yang berperan sebagai landasan ilmiah, sayangnya tidak berdasarkan kajian penelitian mendalam dan komprehensif.
Untuk mengubah standar nasional pendidikan (SNP) yang semula 8 menjadi 3, hanya didasakan pada satu penelitian terbatas di kota Bukittinggi, Way Kanan, dan Kebumen (halaman 160-163). Padahal 514 kota/kabupaten terbentang luas dari Papua sampai Aceh. Kajian yang tidak merepresentasikan ragam konteks geografis dan demografis Indonesia, tak layak dijadikan rujukan. Terkesan bias Jawa-Sumatera.
Yang cukup mengganjal Pasal 105, ada ketentuan Lembaga Mandiri ikut melakukan evaluasi siswa. Mengapa ada evaluasi siswa oleh Lembaga Mandiri? Padahal semestinya evaluasi siswa cukup dilakukan oleh guru (sekolah) dan Pemerintah sepanjang formulanya tidak seperti Ujian Nasional (UN) dulu yang merugikan siswa termasuk guru.
Evaluasi siswa oleh lembaga mandiri berpotensi melahirkan proyek-proyek rente ujian bahkan jual beli sertifikat dari lembaga swasta. Karena pengakuan evaluasi dilakukan melalui Sertifikat yang dikeluarkan lembaga swasta tersebut (Pasal 105 ayat 3-4).
Pasal tersebut bisa melahirkan bisnis pendidikan yang difasilitasi negara, bahkan tak menutup kemungkinan akan terjadi praktik kolusi antara lembaga swasta dengan pemerintah, jelas sangat memilukan.
RUU juga berpotensi melahirkan “kastanisasi sekolah”. Memperkenalkan entitas baru dalam persekolahan (Pasal 18 dan 21) bernama “Persekolahan Mandiri”. Pengelolaan antara “Persekolahan” (umum) dengan Persekolahan Mandiri berbeda.
Akan ada sekolah yang diperlakukan istimewa oleh Pemerintah, dengan membuka ruang inovasi apalagi dengan standar input berbeda. Diperkuat dalam Nasmik, sekolah jenis ini diperbolehkan mengembangakn kurikulum mandiri.
Artinya sekolah tersebut memiliki previledge mengembangkan standar sendiri yang berbeda dari sekolah umum biasa. Ini persis sama dengan model Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).
Jalur ini akan menciptakan kasta-kasta antarsekolah. Persekolahan mandiri menciptakan kesenjangan baru dan menghidupkan kembali pelabelan (labelling) sekolah ‘elit’, ‘favorit’ dan ‘unggul’.
Bahkan label tersebut akan membuat mahalnya biaya pendidikan. Dengan alasan mandiri, dan keistimewaan pengelolaan sekolah, kebutuhannya pun bisa berbeda dari sekolah umum. Otomatis pembiayaan sekolah akan meningkat, di sinilah muncul pungutan pendidikan berbiaya mahal kepada orang tua siswa.
Alih-alih berpihak pada anak, yang timbul justru praktik buruk yang memperlebar gap anak-anak keluarga kaya dan miskin, sama persis RSBI dulu. Praktik kastanisasi pendidikan yang berujung pada mahalnya biaya pendidikan. Jelas bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang berkeadilan, nondiskriminatif, dan inklusif.
RUU Sisdiknas tampaknya didisain untuk mengakomodir dan melegitimasi program kerja Kemdikbudristek era Nadiem Makarim belaka. Contoh, istilah Profil Pelajar Pancasila (PPP) sebenarnya hanya program kerja temporer yang dimuat dalam dokumen Renstra Kemdikbudristek Tahun 2020-2024 dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kemdikbudristek 2020-2024, PPP menjadi program kerja Nadiem.
Hebatnya PPP masuk dalam RUU Sisdiknas bahkan berkedudukan sangat tinggi menjadi “fungsi pendidikan nasional”.
Padahal PPP masih mengandung persoalan secara filosofis, akademis, sosiologis, historis, dan pedagogis. Bagaimana bisa kualifikasi karakter pelajar Pancasila dikonstruksi menjadi 6 dimensi? Sedangkan Pancasila terkandung 5 nilai dasar.
Lagipula pengembangan nilai karakter Pancasila bagi siswa sudah dimuat dalam Perpres Nomot 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang memuat 18 nilai karakter berdasarkan Pancasila yang kemudian dikristalisasi menjadi 5 nilai utama.
Lantas mengapa Kemdikbudristek memaksakan PPP menjadi 6 dimensi dan memasukkan ke UU? Padahal Perpres sudah mengaturnya eksplisit menjadi 18 nilai, lalu diperas menjadi 5 nilai yang masih berlaku hingga sekarang.
Cara-cara semacam ini berpotensi menjadikan UU Sisdiknas lemah, tidak futuristik, jangka pendek, sangat parsial, tidak menyentuh persoalan mendasar, dan lebih kental politisnya ketimbang pendidikannya.