Jakarta, Gatra.com – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah, mengatakan, pihaknya menerapkan strategi meminta pertanggungjawaban hukum korporasi dan menerapkan tindak pidana pencucian uang untuk mengoptimalkan pemberantasan korupsi dan penyelamatan uang serta pendapatan negara.
Febrie dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Anggota Komisi III DPR RI di DPR, Jakarta, Rabu (23/3), menyampaikan, pihaknya tidak hanya menyasar subjek hukum individu agar penanganan kasus korupsi dapat optimal.
Penjeratan korporasi serta penerapan pasal tindak pidana pencucian uang, lanjut Febri, selain memberikan efek jera, juga menghasilkan pendapatan negara karena korporasi sebagai pelaku tindak pidana akan dihukum untuk membayar denda.
Menurutnya, penerapan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak hanya fokus pada pembuktian unsur merugikan keuangan negara, tetapi juga pembuktian unsur merugikan perekonomian negara.
Optimalisasi ini merupakan keniscayaan karena penanganan perkara tindak pidana korupsi saat ini hanya menitikberatkan kepada pemulihan keuangan negara. Sedangkan di sisi lain, kerugian perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi belum menjadi pedoman standar penanganan oleh aparat penegak hukum di Indonesia.
“Hal ini menimbulkan tingkat pemulihan keuangan negara sering kali tidak sebanding dengan opportunity cost dan multiplier economy impact yang timbul sebagai akibat terjadinya tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Selanjutnya, penerapan tindak pidana pencucian secara konsisten sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan tindak pidana asal tindak pidana korupsi.
Penerapan secara konsisten tindak pidana pencucian uang ini, selain untuk efek penjeraan, juga sebagai upaya untuk penyelamatan keuangan negara dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Strategi atau upaya di atas, diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi dan efek penjeraan (deterrent effect) kepada masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Selain itu, optimalisasi asset recovery sebagai upaya penyelamatan dan pemulihan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang terjadi sebagai akibat tindak pidana korupsi serta meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai kemanfaatan praktis pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.
Dalam kesempatan tersebut, Febrie, lebih jauh menyampaikan, saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam penanganan tindak pidana korupsi yang awalnya represif menjadi preventif, karena penegakan hukum tidak lagi menitikberatkan kepada seberapa banyak perkara korupsi yang ditangani dan pelaku yang dihukum.
“Namun lebih kepada upaya untuk menjamin satu wilayah bebas dari korupsi, serta bagaimana kerugian keuangan negara dapat dipulihkan,” katanya.
Pemulihannya dengan menggunakan metode follow the money guna memaksimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hasil penyelamatan keuangan negara.
Maka, ujar Jampidsus bahwa salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah dengan membentuk Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgassus P3TPK). Penanganan tindak pidana korupsi yang memiliki impact besar terhadap keuangan maupun perekonomian negara.
“Selain keberhasilan dalam penanganan tindak pidana korupsi, saat ini kami juga masih mendalami perkara pelanggaran HAM Yang Berat Paniai, yang hingga kini masih dalam proses pengumpulan alat bukti,” katanya.
Menurutnya, bentuk keseriusan Kejaksaan dalam menyelesaikan perkara hak asasi manusia (HAM) yaitu dengan Tim Penyidik Kasus Pelanggaran HAM yang berat Paniai yang masih terus bekerja dalam membuat terang peristiwa Paniai.
“Untuk itu, dalam menjalankan tugas, kami meminta semua pihak untuk dapat mendukung Kejaksaan dalam penegakan hukum yang berkualitas dan humanis,” ujarnya.