Home Regional Mantan Kades Diduga Jadi Biang Ontran-ontran Potongan 5% UGR Bendungan Bener

Mantan Kades Diduga Jadi Biang Ontran-ontran Potongan 5% UGR Bendungan Bener

Purworejo, Gatra.com - Paguyuban Masyarakat Terdampak Bendungan Bener (Masterbend) Desa Limbangan, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah akhirnya angkat bicara terkait tudingan adanya potongan 5% uang ganti rugi (UGR) Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener.

Ketua Masterbend Desa Limbangan, Suharyono memberikan klarifikasi dalam pertemuan yang berlangsung di Musala Pungangan Desa Limbangan pada Selasa siang (22/3). Di tempat ini juga awal mula kesepakatan pendampingan hukum terjadi pada 3 Mei 2021 lalu. Bangunan tempat beribadah ini dianggap bersejarah dalam perjuangan warga terdampak proyek bendungan tertinggi di Indonesia itu.

"Kami hanya ingin meluruskan pemberitaan dan kabar adanya dugaan pemotongan UGR sebesar 5%. Kami perwakilan warga terdampak yang berdomisili di Desa Limbangan memang meminta pendampingan hukum pada kantor Pengacara Hias Negara dan Rekan. Semua warga kami kumpulkan sampai tiga kali, mereka setuju menandatangani surat kuasa," kata Suharyono mewakili warga lain.

Alasan mereka meminta pendampingan hukum tak lain lantaran trauma dengan peristiwa musyawarah ganti rugi pada 9 Desember 2019 lalu. Saat itu tanah milik 177 warga terdampak dihargai sangat murah. Bahkan, mereka juga tidak memiliki kesempatan memberi usul dan tawaran nilai UGR.

"Pada pertemuan ketiga di Balai Desa Limbangan, 1 Mei 2021 lalu, ada penjelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak (warga dan pengacara) apabila minta pendampingan hukum. Tidak ada penekanan atau ancaman, semua dikembalikan ke warga. Ada dua orang yang tidak bersedia ikut pendampingan hukum, mereka ya tidak kami paksa," jelas pria yang akrab disapa Haryono ini.

Menurutnya, tuduhan adanya paksaan dan ancaman adalah fitnah yang keji. Apalagi, disampaikan di muka umum melalui media massa.

"Karena itu pendamping hukum akan kami minta untuk melakukan kajian, langkah apa yang bisa diambil. Apakah ada pencemaran nama baik atau pelanggaran UU ITE," lanjutnya.

Kronologi

Haryono lantas membeberkan kronologi hingga adanya isu pemotongan 5% UGR warga terdampak Bendungan Bener. Isu ini berawal setelah warga menerima UGR. Muncul seorang mantan kepala desa yang meminta bagian kepada warga melalui pengurus Paguyuban Masterbend. Alasannya meminta bagian, lantaran merasa memberikan jasa pada warga ketika memperjuangkan UGR itu.

Mendengar permintaan ini, para pengurus Paguyuban Masterbend pun melakukan rapat. Atas dasar pertimbangan kemanusiaan, akhirnya diputuskan untuk memberikan bagian pada mantan kepala desa itu. "Kami berikan Rp100 juta," jelasnya.

Tak puas, mantan kepala desa itu kembali meminta Rp200 juta. Warga menganggap permintaan ini terlalu banyak dan memberatkan, maka tidak dikabulkan. Mantan kepala desa yang geram permintaannya tidak dikabulkan, seolah mengancam dengan mengatakan jangan sampai masalah ini menjadi besar. Benar saja, beberapa hari setelahnya, datang seorang yang mengaku anggota salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sekaligus kuasa hukum mantan kepala desa itu.

"Intinya meminta agar permintaan mantan kepala desa itu dipenuhi. Karena tidak kami penuhi, maka kami duga ada ontran-ontran (kehebohan) seperti ini," jelas Haryono panjang lebar.

Sayangnya, dalam kesempatan ini Haryono belum bisa menjelaskan modus serta para aktor yang diduga jadi pelaku. Ia berjanji akan menceritakan keseluruhan ceritanya hingga cara para pelaku memprovokasi warga yang sudah menandatangani surat perjanjian dengan pengacara dalam waktu dekat.

Senada dengan Haryono, Ketua Masterbend, Eko Siswoyo juga memberikan klarifikasi karena nama Masterbend ikut disebut secara gamblang. "Kami selaku pengurus mengklarifikasi tidak ada unsur pemerasan, pungli, dan korupsi pada UGR Proyek Bendungan Bener. Saya klarifikasi karena sudah menyebutkan nama paguyuban Masterbend. (Kami) Tidak pernah memaksa dan meminta, itu fitnah yang amat keji. Tujuan kami hanya membantu warga terdampak dalam mendapatkan hak-haknya," tegas Eko.

Ia melanjutkan, jika warga yang mengadu ke LSM punya bukti, pihak Masterbend pun memiliki bukti. "Jika ada yang dianggap tidak cakap membuat perjanjian atau sakit, saat membuat perjanjian dia dalam keadaan sehat. Ada memang yang sakit, tapi setelah proses berjalan yang bersangkutan kemudian jatuh sakit. Kami juga tidak pernah melakukan hal-hal keji yang seperti yang diisukan saat ini," jelasnya.

1651