Jakarta, Gatra.com - Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto mengatakan bahwa propaganda terorganisir dan manipulasi opini publik meningkat di dunia maya Indonesia.
Menurutnya, sejak 2019, telah terjadi peningkatan yang mencolok dari kampanye pasukan siber yang berfungsi untuk memobilisasi konsensus publik untuk kebijakan pemerintah yang kontroversial. Setidaknya, operasi pasukan siber ini memainkan peran penting dalam tiga peristiwa kontroversial.
“Di antaranya, pertama, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada September 2019. Kedua, peluncuran kebijakan New Normal di masa pandemi COVID-19 pada Mei 2020. Ketiga, pengesahan Omnibus Law Penciptaan Lapangan Kerja pada Oktober 2020,” kata Wijayanto dalam keterangan tertulisnya yang diterima pada Selasa (22/3).
Di tiga kasus ini, lanjutnya, pasukan siber memanipulasi persetujuan publik dengan membanjiri media sosial menggunakan narasi yang mempromosikan agenda elit pemerintahan. Sering kali, pasukan siber ini juga menggunakan pesan menipu dan disinformasi yang diperkuat oleh banyak akun buzzer dan bot.
“Dengan demikian mereka secara efektif menenggelamkan wacana oposisi di media sosial dan menetralisir perbedaan pendapat, terutama karena media arus utama secara bersamaan menggemakan narasi pasukan siber,” Wijayanto menjelaskan.
Ia menegaskan, penggunaan pasukan siber yang semakin sistematis disertai sumber daya yang cukup besar menunjukkan meningkatnya kooptasi dunia siber Indonesia untuk kepentingan elit. Akibatnya, kondisi ini merusak kualitas debat publik dan demokrasi di Indonesia.
“Karena operasi pasukan siber tidak hanya memberi opini publik dengan disinformasi, tetapi juga mencegah warga negara untuk meneliti dan mengevaluasi perilaku elit pemerintahan dan proses pembuatan kebijakan, yang selanjutnya memperburuk kemunduran demokrasi Indonesia yang kini sedang berlangsung,” jelasnya.