Home Politik Parah! Demokrasi Indonesia Sekarat, Mendekat ke Rezim Otoriter, Buzzer Dibayar dengan Uang Rakyat

Parah! Demokrasi Indonesia Sekarat, Mendekat ke Rezim Otoriter, Buzzer Dibayar dengan Uang Rakyat

Jakarta, Gatra.com- Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Didik J Rachbini menyampaikan bahwa iklim berdemokrasi Indonesia telah mengalami kemunduran.

Setidaknya Didik memiliki lima catatan terkait kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. Pertama, kemunculan praktik-praktik anti-demokrasi yang makin masif.

"Hampir keseluruhan ilmuwan yang independen menyatakan bahwa kereta demokrasi yang dibawa sejak reformasi putar haluan, berbalik mendekati rezim otoriter." jelasnya dalam peluncuran buku Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil yang dilakukan secara virtual, Ahad (20/3).

Kedua, lanjut Didik, adanya sekelompok orang di lingkaran kekuasaan yang mendorong ke arah praktek-praktek otoriter.

“Wacana presiden tiga periode, kemudian mau nambah jabatan jadi 3 tahun. Itu elemen di kanan kiri presiden, itu muskil dan hampir tidak mungkin presiden tidak tahu. Saya kira itu bagian secara bersama-sama, elemen di sekitarnya, dengan kekuasaan di pusatnya,” ujar Didik.

Menurutnya, meski media telah mencoba menghalangi, praktek-praktek anti-demokrasi tersebut masih terus berjalan. “Termasuk juga kriminalisasi aktivis-aktivis demokrasi, Haris dan Fatia. Itu bukan maki-maki musuh, dia melakukan kritik check and balances terhadap kekuasaan supaya tidak conflict of interest. Dia meneliti kiprah penguasa dalam mobilisasi sumber daya alam. Apabila ada kesalahan, tidak bisa dikriminalisasi secara hukum. Hukumnya berkolusi dengan kekuasaan yang otoriter, persis seperti Orde Baru,” jelasnya.

Catatan ketiga, matinya parlemen sebagai pengawas dan pengontrol kekuasaan. Menurutnya, dahulu parlemen sangat kuat karena adanya reformasi, namun sekarang menjadi sangat lemah. "Nestapa demokrasi yang sekarang jadi lebih berat,” lanjut Didik.

Berikutnya, Didik mencatat tentang maraknya propaganda kekuasaan melalui para buzzer di dunia maya. Terlebih pendanaanya menggunakan uang negara. "Saya kira setelah rezim ini selesai, itu wajib diperiksa anggaran-anggaran dalam kampanye buzzer. Nanti bisa diadili." tegasnya.

Terakhir, Didik menyampaikan bahwa aktivitas intelektual masih memiliki harapan di tengah himpitan praktek otoritarian. "Masih banyak aktivis yang cinta terhadap demokrasi melalui cara yang akademik,” ujar Didik.

Selain itu, media tanah air sangat kuat meski media sosial telah tersandera oleh para buzzer. "Kekuatan rakyat jangan dianggap remeh. Waktu UU KPK, anak-anak muda ribuan, hampir di seratus kota berdemo. Jangan under estimate terhadap kekuatan rakyat kalau praktik-praktik demokrasi itu sudah melewati batas,” ujar Didik.

16410