Palembang, Gatra.com – Berbagai tanggapan dan sikap kritis masyarakat sipil terus disampaikan psacapengumuman pencabutan izin konsesi kawasan hutan baru-baru ini. Pengumuman oleh pemerintah mengenai pencabutan izin untuk kehutanan, perkebunan dan tambang dapat dianggap sebagai proses perizinan biasa, salah satu tindakan yang harus dilakukan.
Demikian disampaikan Prof Hariadi Kartodihardjo pada diskusi publik yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel), pada Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH), di Palembang, Sabtu (19/3). Yang penting diperhatikan pada kebijakan itu menurutnya, kemungkinan adanya masalah, termasuk proses alokasi hutan atau lahan setelah izin dicabut.
“Pelaksanaan pencabutan izin tersebut tidak dilakukan seketika. Terdapat izin yang masih menunggu proses evaluasi menurut tahapan dalam peraturan perundangan, yang masih sedang berjalan hingga saat ini. Jumlahnyapun cukup besar,” katanya.
Dari izin hutan alam 255 unit usaha seluas 18,6 juta hektar, yang sudah dan siap dicabut berjumlah 25 unit dengan luas sekitar 1,27 juta hektar. Sedangkan yang potensial dicabut sebanyak 11 unit seluas sekitar 423 ribu hektar. Untuk hutan tanaman terdapat 298 unit dengan luas konsesi 11.312.589,70 hektar. Yang sudah dan siap dicabut berjumlah 46 unit seluas sekitar 790 ribu hektar dan yang potensial untuk dicabut sebanyak 25 unit seluas sekitar 20.000 hektar.
“Dari data sampai dengan akhir tahun lalu, jumlah pelepasan kawasan hutan untuk kebun sawit secara nasional sebanyak 588 unit usaha dengan luas areal pelepasan sekitar 5,9 juta hektar,” sebut guru besar Ketuhanan dan Lingkungan Universitas IPB.
Untuk pencabutan persetujuan pelepasan kawasan hutan, pemerintah menggunakan Pasal 530 dan Pasal 298, Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021. Dalam hal ini, permohonan pelepasan kawasan hutan yang telah mendapatkan persetujuan prinsip atau keputusan pelepasan kawasan hutan dan jangka waktu persetujuan prinsip telah berakhir dan tidak diperpanjang dan belum ditata batas, maka persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan dinyatakan tidak berlaku.
Dari jumlah itu yang siap dicabut sebanyak 97 unit usaha dengan luas sekitar 29,6 ribu hektar dan yang potensial untuk dicabut sebanyak 72 unit usaha dengan luas sekitar 1,1 juta hektar. Selain itu terdapat pula 21 unit dengan areal kerja seluas sekitar 252 ribu hektar yang sedang melakukan proses pelepasan dan bermasalah, karena tidak sesuai dengan persetujuan prinsip yang diberikan.
“Proses ini sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah, dan tidak ada kebijakan alokasi hutan/lahan berdasarkan mekanisme pasar, misalnya melalui lelang. Dalam pencabutan izin ini, untuk usaha hutan alam dan usaha hutan tanaman, pemerintah menggunakan Pasal 361 dan Pasal 368, Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No. 8 Tahun 2021. Dalam peraturan ini sanksi administratif ditetapkan berdasarkan penilaian kinerja, evaluasi internal maupun evaluasi atas laporan pengaduan masyarakat,” paparnya.
Ruang Publik
Dalam proses pencabutan izin tersebut, pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 telah membentuk satgas penataan penggunaan lahan dan penataan investasi yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Satgas ini diketuai oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM. Tugas Satgas ini antara lain memetakan pemanfaatan lahan bagi kegiatan pertambangan, perkebunan dan kehutanan sebagai akibat dari pencabutan izinnya secara berkeadilan, dengan, antara lain, memberi kesempatan bagi usaha baru.
“Saya mempunyai beberapa catatan untuk kebijakan ini. Pertama, diperlukan kejelasan kebijakan afirmatif dan pelaksanaannya untuk memastikan masyarakat adat dan lokal mendapat alokasi. Hal ini perlu dilakukan mengingat besarnya ketimpangan alokasi manfaat hutan/lahan saat ini. Kedua, diperlukan penguatan integrasi kebijakan antar kementerian/lembaga yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Kementerian Dalam Negeri (Mendagri),” katanya.
Selanjutnya, diperlukan penugasan kepada pemberi izin untuk mampu melakukan pengawasan terhadap lokasilokasi izin yang sudah dan akan dicabut. Lokasi-lokasi ini sebaiknya ditetapkan sebagai status quo. Hal ini sangat diperlukan guna mencegah terjadinya eksploitasi dengan motif “hit and run” terhadap sumberdaya alam yang belum jelas status penguasaannya. Sayangnya, isi Perpres No 1/2022 juga tidak menyentuh persoalan ini.
“Dan yang terakhir yakni, pelaksanaan pencabutan izin dan realokasi sumberdaya alam jutaan hektar ini diperkirakan akan berlangsung cukup panjang. Mengingat kondisi sumberdaya alam di lapangan sudah tidak lagi ideal dan prosesnya akan melibatkan transaksi banyak kepentingan, maka mitigasi untuk pencegahan korupsi sangat diperlukan,” jelasnya.
Keterbukaan informasi bagi publik, identifikasi pemilik manfaat (beneficiary ownership) untuk menghindari alokasi sumberdaya alam secara terus-menerus kepada kelompok usaha besar tertentu serta potensi konflik kepentingan dalam realokasi sumberdaya alam patut menjadi perhatian.
Tampil dalam pembicara pada Diskusi Publik yang bertajuk ‘Memperluas Pencabutan dan Evaluasi Izin Sektor HTI, Sawit dan Tambang’ Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi, Direktur Paradigma Riko Kurniawan, dan Rektor Universitas IBA Tarekh Rasyid. Diskusi dengan membahas lebih rinci mengenai bagaimana proses dan evaluasi pencabutan izin sektor HTI, sawit dan tambang dari berbagai perspektif.
Dr Tarech Rasyid (Rektor Universitas IBA Palembang), menyampaikan bahwa bagaimana implikasi atau kebijakan yang ketahui bagian dari penyelamatan lingkungan. Apa upaya pemerintah dalam mencoba menjawab persoalan-persoalan yang muncul serta bagaimana upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi.
“Harus adanya sinergisitas bersama agar memaksimalkan dorongan dalam pencabutan dan evaluasi izin sektor HTI, Sawit dan Tambang. Kalau saya melihat dalam situasi sekarang, peningnya dibangun gerasan sosial dengan pendekatan profetik di mana berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Kuntowijoyo, melalui pendekatan secara teologis kesinambungan antara manusia dengan alam,” katanya.
Kemudian, Riko Kurniawan Direktur Paradigma, menyampaikan bahwa persoalan ketimpangan pengelolaan lahan di Indonesia sudah menjadi perdebatan elite politik, sehingga pencabutan izin ini menjadi pesan-pesan tersirat yang dikomunikasikan pemerintah meskipun pada kenyataannya masih menjadi permainan bagi-bagi lahan penguasa.
“Karena sifat lahan yang dicabut izinnya merupakan lahan tidak terpakai atau terbengkalai,” ujarnya. Diakui, dalam hal perubahan pada konteks (substansi diskusi) bahwa perubahan dapat berjalan melalui kebijakan politik.
Sementara, Direktur Nasional Walhi mengatakan, jika pihaknya terus berusaha mendorong perjuangan pencabutan izin lahan sektor HTI, sawit dan pertambangan. “Meskipun demikian, Walhi tetap menjadikan masyarakat sebagai aktor utama dalam perjuangan mengelola lahannya sendiri menjadi wilayah kelola rakyat. Dan Walhi terus mendampingi perjuangan masyarakat,” ujarnya.