oleh: KH. Anis Maftuhin
Gus Muhaimin Iskandar adalah manusia biasa. Punya banyak sekali kekurangan. Pun, pastinya pernah salah dan juga disalah salahkan, hingga jadi 'korban' kesalahan penafsiran sebagai resiko "peran" yang dimainkannya sebagai politisi dan ketua umum sebuah partai yang terlahir sebagai kendaraan politik NU. Atau, dalam bahasa Gus Yusuf Chudori sebagai pejuang politik NU, bahwa PKB adalah alat politik NU.
Dari sisi kepolitikan, perlu digaristebal terlebih dahulu bahwa Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa ini memiliki kontribusi besar dalam memperjuangan aspirasi politik kalangan Nahdhliyin, baik secara makro maupun mikro.
Benar adanya bila proses suksesi komando partai PKB dari KH Abdurrahman Wahid kepada santri dan sekaligus keponakannya yang bernama Muhaimin Iskandar ini sempat diwarnai dinamika. Maka kacamata politik dan keorganisasianlah yang seharusnya digunakan untuk memberikan justifikasi terhadap fakta politik ini.
Jelasnya, menjadi rancu pandang jika fakta politik ini dipelintir menjadi "komoditi" untuk membunuh karakter seorang Muhaimin Iskandar, alih alih untuk melabeli Gus Muhaimin sebagai pendurhaka, atau politisi yang tak peduli pada fatsun (etika) perpolitikan.
Penulis yakin, Gus Dur adalah Guru Bangsa yang sangat tidak mungkin rela, bila para santrinya menjadi para pembunuh karakter orang lain.
Terkait dengan proses demokrasi, Syaikhina Gus Dur pun telah mengajarkan bahwa demokrasi harus berlandaskan kedaulatan hukum dan persamaan setiap warga negara tanpa mebedakan latar belakang ras, suku agama dan asal muasal, di muka-undang-undang. Dalam kontek ini pun, Gus Muhaimin telah menahkodai PKB sebagai hasil dari proses demokrasi yang sah di depan hukum.
Secara paralel, kenyataan juga membuktikan bila labeling negatif itu bahkan terbantahkan dengan kegigihan Gus Muhaimin dalam mempertahankan hingga membesarkan partai mandataris Nahdhiyyin yang sempat dipercayakan nahkodanya kepada sang paman, KH Abdurrahman Wahid.
Berangkat dari fakta di atas, sudah seyogyanya bila kaum nahdhiyyin, baik struktural maupun kultural memberikan apresiasi atas dedikasi dan kemampuannya dalam melanjutkan garis garis dan nilai nilai perjuangan politik Nahdhiyyin yang banyak dijiwai oleh berbagai pemikiran moderat dan progresif Gus Dur, serta terwadahkan dalam sebuah partai yang bernama PKB.
Benar pula, bahwa rivalitas dalam kancah politik adalah suatu keniscayaan. Sehingga wajar jika ada pula sesama kader Nahdhiyyin yang kurang "sreg", tidak sejalan, atau kasarnya tidak suka dengan debut politik Gus Muhaimin dalam memerankan dirinya sebagai pelaksana atau eksekutor aspirasi Nahdhiyyin.
Namun, lagi lagi harus diingat bahwa politik adalah cara yang dihasilkan oleh manusia yang berbudaya untuk berkompetisi dalam mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan manusia banyak. Karenanya, apapun dan dari siapapun upaya yang dimaksudkan untuk menggantikan peran politik kenahdhliyyinan Gus Muhaimin perlu dibungkus dalam semangat berkompetisi yang sportif, modern dan elegan, bukan dengan pembunuhan karakter (ightiyalu al syahsiah) terhadap pribadi Gus Muhaimin.
Jelasnya, bila memang Gus Muhaimin harus digantikan dengan kader kader Nahdhiyyin lain untuk "ngopeni" (memikirkan, mengurus dan memperjuangkan) aspirasi politik Nahdhiyyin, maka terlebih dahulu harus disepakati untuk meletakkan Gus Muhaimin sebagai salah satu kader NU yang terbaik dan sudah teruji di medan politik. Setelah itu, baru dilakukan proses proses kompetisi yang lebih sehat dan bermartabat.
Akhir kitabah, tak ada salahnya kita mengingat kembali dawuh Gus Dur; Mari kita bangun bangsa dan hindarkan dari pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah, inilah tugas kesejarahan kita yang tidak boleh kita lupa.
Dan penulis sangat yakin bila nahdhliyyin saat ini sangat menginginkan persatuan dan kesatuan Jam'iyyah wal jamaah NU untuk memberikan yang terbaik bagi Indonesia.
*Ketua Umum Gerakan Kebangkitan Nahdhiyyin Muda (Gerbang Nada), pegiat literasi Islam Indonesia, dan Pengasuh Ponpes Wali Salatiga