Jakarta, Gatra com- Pemerhati ekonomi sirkular dari Nusantara Circular Economy & Sustainability Initiatives (NCESI), Yusra Abdi mendesak kalangan akademisi untuk lebih kritis dan tidak terseret dengan menentang rencana strategis Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerapkan aturan pelabelan risiko Bisfenol A (BPA)
"Menyudutkan BPOM yang justru ingin melindungi kesehatan publik dengan mempersoalkan kemungkinan membengkaknya sampah plastik sekali pakai paska berlakunya kebijakan pelabelan BPA sama saja memberi angin pada lobi industri," kata Yusra dalam keterangan tertulisnya, Jumat (18/3).
Sebagai informasi, BPA merupakan bahan campuran kimia yang bisa menyebabkan kanker dan kemandulan pada galon guna ulang berbahan plastik keras polikarbonat.
Ia mengatakan, semua air mineral non-galon yang beredar di pasar, kecuali kemasan gelas yang berbahan plastik polypropylene, menggunakan kemasan plastik sekali pakai dari jenis Polyethylene Terephthalate (PET), plastik lunak yang bebas BPA.
"Penjualan terbesar produsen air kemasan terbesar di Indonesia, salah satunya bersumber dari penjualan kemasan Single Pack Size yang semuanya berbahan PET alias sekali pakai," kata
Yusra.
Bila masalahnya memang plastik sekali pakai, Yusra mempertanyakan kenapa asosiasi industri tidak pernah mempersoalkan potensi sampah dari penjualan produk sekali pakai mereka yang masif itu?.
"Lobi industri sejak awal menggrosir beragam dalih untuk mengerdilkan rencana BPOM. Salah satunya adalah dengan menyebut aturan pelabelan risiko BPA bakal menambah jumlah sampah plastik karena publik bakal terdorong untuk meninggalkan galon guna ulang dan beralih ke galon sekali pakai yang bebas BPA," tegas Yusra.
Yusra menyebut persoalan sampah plastik air kemasan yang tercecer di lingkungan dipicu beragam faktor. Salah satunya adalah tingginya produksi kemasan ukuran gelas yang lebih mudah tercecer dan mengotori lingkungan.
Faktor lain adalah rendahnya kesadaran masyarakat dalam memilah sampah plastik. Sehingga plastik yang seharusnya didaurulang oleh industri justru tercecer di lingkungan terbuka.
Lebih jauh, menurut Yusra, BPOM tidak melarang penggunaan galon guna ulang dari plastik keras atau sebaliknya mendorong publik mengkonsumsi galon dari plastik lunak yang bebas BPA.
Dalam hal ini, menurutnya BPOM sebatas ingin memberlakukan kebijakan pencantuman label peringatan atas risiko BPA agar konsumen air galon mendapat informasi menyeluruh, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Untuk diketahui, akhir Desember silam, Kepala BPOM, Penny K. Lukito, menghimbau industri AMDK ikut memikirkan potensi bahaya BPA pada air minum galon berbahan plastik keras polikarbonat yang beredar luar di masyarakat.
"Saya mengajak pelaku usaha, utamanya industri besar, untuk ikut memikul tanggung jawab melindungi masyarakat karena ada risiko BPA yang terkait dengan aspek kesehatan, termasuk fertility (tingkat kesuburan wanita) dan hal-hal lain yang belum kita ketahui saat ini," kata Penny.
Dalam rancangan peraturan BPOM, produsen air galon yang menggunakan kemasan polikarbonat wajib mulai mencantumkan label "Berpotensi Mengandung BPA" kurun tiga tahun
tiga tahun sejak peraturan disahkan. Produsen yang menggunakan kemasan selain polikarbonat diperbolehkan mencantumkan label "Bebas BPA