Jakarta, Gatra.com - Para investor saham di Indonesia saat ini harap-harap cemas pasca Bursa Efek Indonesia (BEI) merilis potensi penghapusan saham atau delisting sejumlah emiten. Salah satu saham yang delisting adalah PT Northcliff Citranusa Indonesia Tbk (SKYB).
Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, pemegang saham SKYB paling banyak yakni masyarakat sebesar 31,5% atau 184.356.900 lembar. Menanggapi hal tersebut Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada menilai jika delisting SKYB merupakan resiko dalam berinvestasi di saham.
Terlebih jika seseorang berinvestasi di perusahaan yang dinilai kurang baik kinerjanya. "Boleh dibilang, sorry to say, risiko berinvestasi di saham. Apalagi jika kita berinvestasi pada saham di mana perusahaannya memiliki kinerja yang dinilai kurang baik atau katakanlah tidak memenuhi GCG (Good corporate governance) yang baik sehingga otoritas memberikan punishment," kata Reza kepada wartawan, Kamis (17/3/2022).
Seharusnya, kata dia, investor berhati-hati dengan dana yang digunakan untuk berinvestasi, serta memilih dengan cermat saham yang bisa dipercaya. Kemudian jangan terpengaruh dan hanya ikut-ikut saja sebagai followers.
"Tentunya kita sebagai investor dituntut untuk aware dengan uang yang kita investasikan sehingga senantiasa berhati-hati. Harus cermati saham yang baik untuk diinvestasikan, harus buka mata buka telinga, gali informasi yang kredibel dan akurat. Jangan ngandalin ikut sana-sini dan cuma jadi followers," kata dia.
Karena menurutnya, delisting merupakan risiko perusahaan. Sehingga yang terpenting adalah perlindungan bagi para investor, oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI).
"Kalau delisting kan resiko mereka karena tidak patuh pada aturan, namun yang lebih penting adalah perlindungan ke investornya. Poin inilah yang harus segera ditangani oleh OJK dan BEI," kata Reza.
Sehingga, jelasnya, jangan sampai terkesan emiten IPO hanya mengambil uang para investor, kemudian menghilang. Karena hal tersebut dapat mencoreng dunia pasar modal Indonesia.
"Jangan sampai ada kesan, emiten IPO cuma buat ambil uang masyarakat lalu menghilang alias delisting. Ini bisa jadi preseden kurang baik buat perkembangan pasar modal kita," ujarnya.