Jakarta, Gatra.com - Ombudsman RI (ORI) menemukan sejumlah penyebab kelangkaan minyak goreng yang saat ini masih terjadi. Salah satunya yakni adanya perbedaan data Domestic Market Obligation (DMO) yang dilaporkan dengan realisasi di lapangan.
Penyebab selanjutnya, kebijakan DMO tanpa diikuti oleh mempertemukan eksportir CPO atau olahannya dengan produsen minyak goreng. Belum lagi terjadinya panic buying di masyarakat.
Selain itu, terdapat dugaan adanya aktivitas rumah tangga atau pelaku UMKM yang meningkatkan stok minyak goreng. Alasannya, saat ini tidak ada jaminan ketersediaan minyak goreng. ORI juga menyoroti gagalnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam mengendalikan harga.
“Fungsi pengawasan akan sulit dilakukan apabila masih terjadi disparitas harga. Alih-alih memperlancar ketersediaan minyak goreng, stok minyak goreng malah langka. Ombudsman RI meminta Pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan mengenai HET, DMO dan DPO,” kata Anggota Ombudsman RI (ORI), Yeka Hendra Fatika dalam konferensi pers secara daring pada Selasa (15/3).
Ia menyebut, pihaknya berencana meningkatkan status dari pemantauan menjadi pemeriksaan atas prakarsa sendiri terhadap permasalahan minyak goreng ini. ORI akan menguji kemungkinan adanya potensi maladministrasi dalam pelaksanaan kebijakan terkait minyak goreng ini.
“Jika ada, Ombudsman akan menyampaikan tindakan korektif apa saja yang perlu dilakukan pemerintah,” tegasnya.
Berdasarkan hasil pemantauan ORI hingga 14 Maret 2022 di 274 pasar, telah terjadi perubahan karakter pasar. Pasar modern, ritel modern, dan ritel tradisional semakin patuh terhadap ketentuan HET meskipun lambat. Pasar modern dari sebelumnya pada 22 Februari 2022 69,85% menjadi 78,94% di 14 Maret 2022. Sedangkan untuk ritel modern dari 57,14%, menjadi 74,19%. Ritel tradisional dari 10,19% menjadi 16,67%.
Kondisi terbalik pada pasar tradisional sebagai pasar paling banyak konsumen. Faktanya, terjadi penurunan tingkat kepatuhan terhadap dari sebelumnya 12,82% menjadi 4,25%.
Hasil pemantauan Ombudsman RI hingga 14 Maret 2022 di 274 pasar, Yeka mengatakan terjadi perubahan karakter pasar, dimana untuk pasar modern, ritel modern, ritel tradisional seiring dengan berjalannya waktu semakin patuh terhadap ketentuan HET meskipun lambat. Pasar modern dari sebelumnya (22 Februari 2022) 69,85% menjadi 78,94% (14 Maret 2022), adapun ritel modern dari 57,14% menjadi 74,19% dan ritel tradisional dari 10,19% menjadi 16,67%. Kondisi terbalik pada pasar tradisional sebagai pasar paling banyak konsumen ternyata semakin menurun tingkat kepatuhannya terhadap HET dari sebelumnya 12,82% menjadi 4,25%.
Besaran harga berdasarkan data per 14 Maret 2022 relatif stabil sesuai harga HET. Sayangnya, untuk wilayah Kalimantan, terdapat harga rata-tertinggi di ritel tradisional pada minyak goreng kemasan premium sebesar Rp36.250.
Ketersediaan minyak goreng berdasarkan hasil pemeriksaan ORI merujuk hasil pemeriksaan pada 22 Februari 2022 dibandingkan hasil pemeriksaan pada 15 maret 2022, ketersediaan minyak curah naik sebesar 2,5%. Adapun untuk ketersediaan minyak goreng kemasan sederhana turun 12,7%, dan kemasan premium turun sebesar 31,11%.