Jakarta, Gatra.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menghentikan penuntutan kasus penganiayaan yang membelit seorang petani penghasil komoditas ubi jalar dan palawija di Kabupaten Deiyai, Papua. Petani tersebut benama Derianus Madai.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, di Jakarta, Selasa (15/3), menyampaikan, penghentian perkara petani tersebut berdasarkan keadilan restoratif atau restorative justice setelah korban memaafkan.
Ketut menjelaskan, Derianus Madai, pria 24 tahun merupakan tulang punggung keluarga yang harus menghidupi kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia beserta istri dan anaknya yang masih balita.
Di saat tengah penat menjalani kehidupan, Derianus pada Sabtu, 29 Januari 2022, sekira pukul 20.10 WIT bertempat di Kampung Mogu Waghete 2, Distrik Tigi Kabupaten Deiyai, terpengaruh alkohol dan membuatnya kurang sadar.
Saat itu, Derianus datang ke kios kelontong milik korban Jumapir untuk membeli rokok. Karena melihat Derianus dalam keadaan kurang sadar diri, Jumapir menyuruhnya untuk pulang kembali ke tempat tinggalnya.
Derianus yang di bawah pengaruh alkohol, kesal dan emosi. Dia melemparkan sebuah batu mengenai kepala Jumapir dan mengalami luka robek dan serta menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau jabatan sementara waktu untuk proses penyembuhan luka.
Meski demikian, Jumapir tidak mendapatkan tindakan perawatan medis yang serius pada saat di rumah sakit, sehingga sudah dapat langsung pulang dan melaksanakan aktivitas sehari-hari. Perlukaan tersebut sesuai untuk kualifikasi luka robek derajat sedang sebagaimana keterangan dari Rumah Sakit Umum Daerah Paniai.
“Akibat perbuatannya, Derianus Madai ditetapkan sebagai tersangka yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan,” katanya.
Menyadari perbuatannya salah, Derianus beserta keluarga berinisiatif untuk meminta maaf kepada korban dan keluarganya serta memberikan santunan kepada korban sebagai bentuk rasa penyesalan.
Kejadian tersebut menggugah niatan teguh hati Kepala Kejaksaan Negeri Nabire, Muhammad Rizal, Kasi Pidum Royal Sitohang, serta Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara Mohamad Fiddin Bihaqi selaku Penuntut Umum untuk dapat memfasilitasi upaya perdamaian dan proses perdamaian melalui mediasi penal, hingga tercapai kesepakatan perdamaian antara Derianus Madai dan Jumapir.
Selanjutnya, pada Senin, 7 Maret 2022 bertempat di Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Nabire, Kepala Kejaksaan Negeri Nabire selaku Penuntut Umum telah melakukan mediasi antara korban dan tersangka yang disaksikan oleh keluarga tersangka, Kepala Suku Mee Kabupaten Deiyaidan dan penyidik Polres Deiyaidan.
“Saat itu, Jumapir dan keluarga berbesar hati memaafkan perbuatan tersangka Derianus Madai dan menerimanya dengan ikhlas tanpa syarat,” ujarnya.
Atas dasar itu, perkara tersebut dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Kini, Derianus Madai bebas tanpa syarat dan dapat kembali ke lingkungan masyarakat adat dengan rukun, serta dapat kembali bertani guna pemenuhan kebutuhan hidup keluarga.
Derianus bebas setelah Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif atas nama Derianus Madai yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Nabire disetujui oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana, melalui ekspose secara virtual pada Jumat, 11 Maret 2022.
Menurut Ketut, ada beberapa alasan Jampidum menyetujui menghentikan penuntutan perkara yang membelit Derianus Madai, yakni tersangka mengakui kesalahannya dan menyesal telah melakukan penganiayaan dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Kemudian, tersangka telah meminta maaf kepada korban serta keluarganya dan mengganti biaya pengobatan yang telah dikeluarkan oleh korban. Tersangka merupakan tulang punggung keluarga dan korban dengan kebesaran hatinya telah ikhlas memaafkan tersangka.
Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada huruf E poin 2 huruf b, disebutkan bahwa untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang, dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, jika tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana dan tindak pidananya hanya diancam dengan pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.
Jampidum Fadil Zumhana dalam ekspose secara virtual mengapresiasi setinggi-tingginya kepada Kepala Kejaksaan Negeri Nabire, Kasi Pidum, dan Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara Derianus Madai yang telah berupaya menjadi fasilitator mendamaikan dan menyelesaikan perkara tersebut dengan mediasi penal antara korban dengan tersangka serta melibatkan tokoh masyarakat setempat sehingga terwujudnya keadilan restoratif.
“Selanjutnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum memerintahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Nabire untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” katanya.