Jakarta, Gatra.com – Wacana perpanjangan masa jabatan presiden masih ramai menjadi diskursus publik belakangan. Meskipun isu ini sudah bergulir lebih dari sepekan. Isu ini diyakini masih dioperasikan oleh pihak yang berada di lingkaran kekuasaan.
"Fakta bahwa operasi politik masih terus berjalan," ujar Direktur Eksekutif IndoStrategic Ahmad Khoirul Umam dalam diskusi #Safari24 Total Politik dengan tema "Polster Club: Perpanjangan Masa Jabatan Menyisip Suksesi 2024", Minggu (13/3).
Menurut Umam, operasi perpanjangan masa jabatan presiden dilakukan secara sistematis. Beberapa pihak di lingkaran kekuasaan, mulai dari menteri-menteri hingga ketua umum partai politik menyuarakan perpanjangan masa jabatan presiden.
Terakhir, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan mengeklaim 110 juta orang setuju dengan perpanjangan masa jabatan presiden. Data itu disampaikan Luhut berdasarkan big data yang dimiliki. "Yang disampaikan Pak Luhut itu jelas manipulasi informasi. Big data 110 juta orang tidak merepresentasikan apapun. Dibuka saja datanya," kata Umam.
Padahal, menurut Umam, hampir semua lembaga survei tidak mengonfirmasi temuan big data bahwa masyarakat setuju dengan perpanjangan masa jabatan presiden.
"Semua polster tidak mengonfirmasi itu. Setahun yang lalu, saya melakukan survei, 80 persen menolak perpanjangan masa jabatan. Tapi Kemudian digunakan bahasa yang sumir, big data," ujar dia.
Umam melihat konteks gambaran besar usulan penundaan Pemilu berkaitan dengan proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Operasi politik ini sengaja dilakukan untuk kepentingan bisnis politik dan kekuasaan
"Kemarin dari Softbank yang diklaim akan investasi di IKN sekitar US$ 100 miliar atau sekitar Rp1.400 triliun untuk proyek IKN, malah kemudian dicabut. Maka sebenarnya yang diperjualbelikan untuk operasi politik ini adalah kepentingan korporasi, bisnis politik dan kekuasaan, yang sengaja memang dilakukan. Bisnis ini butuh kepastian. Nah kepastian ini diterjemahkan sebagai sebuah penundaan Pemillu dan perpanjangan masa jabatan," kata Umam.