Jakarta, Gatra.com – Wakil Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), Alif Kamal menyebut, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan gagal paham memaknai aspirasi masyarakat dan ketentuan pembentukan, maupun perubahan produk hukum di Tanah Air.
“Menko Marves harus memahami lagi sistem hukum di Indonesia, big data belum bisa dijadikan dasar untuk membentuk atau merubah produk hukum,” ujar Alif dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (12/3).
Alif berpendapat, berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, aspirasi masyarakat yang berlandaskan pada kesimpulan analisis big data belum bisa dijadikan dasar untuk melakukan amandemen UUD 1945.
Ia mengungkapkan, analisa big data yang digembar-gemborkan pemerintah terkait wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden hanya klaim tak berdasar. Pasalnya, sampai saat ini belum pernah dibuka hasil analisisnya ke publik.
“Jadi, tidak salah jika ada anggapan bahwa kesimpulan big data itu hanya klaim belaka,” kritiknya.
Aspirasi masyarakat yang diambil melalui platform media sosial, lanjut Alif, memang merupakan salah satu bagian dari demokrasi. Namun, sikap pemerintah tersebut bertolak belakang saat adanya penolakan masyarakat terhadap omnibus law RUU Cipta Kerja dan RUU KPK yang mendapatkan banyak perlawanan dari sebagian besar elemen bangsa.
“Kenapa waktu jutaan rakyat menolak omnibus law (Cipta Kerja) dan RUU KPK melalui percakapan media sosial dan aksi massa pemerintah tidak bergeming? ini juga kan demokrasi,” tangkasnya.
Alif memandang, demokrasi hanya digunakan jika sesuai kepentingan pemerintah saja. Penolakan atas kebijakan pemerintah sebelumnya tidak dianggap sebagai bagian dari demokrasi dan dibereskan segera.
“Pemerintah memaknai demokrasi jika sesuai dengan kepentingannya saja. Penolakan kebijakan lainnya tidak dianggap bagian dari demokrasi,” tandas Alif.
Diketahui, Luhut sebelumnya tampil dalam sesi wawancara di sebuah siniar pada Jumat lalu (11/3). Dalam konten yang disiarkan lewat platform YouTube itu, Luhut menyebut, wacana penundaan pemilu sah-sah saja. Menurutnya, hal itu menjadi bagian dari demokrasi dan bersumber dari suara masyarakat.
Luhut mengklaim berdasarkan analisa big data percakapan di media sosial, 110 juta orang di Indonesia mendukung penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden. Ia menilai aspirasi dari masyarakat tersebut sah-sah saja dan tidak usah dipersoalkan.
Terkait implementasi perpanjangan Pemilu, Luhut menyebut hal itu sebagai ranah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berwenang untuk mengubah dan mengamandemen UUD 1945.