Jakarta, Gatra.com - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta pemerintah tidak terburu-buru dalam memberlakukan kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai syarat pelayanan publik. Menurut Anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, pemerintah perlu mengoptimalkan pembenahan di internal terlebih dahulu sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
"Kami meminta pemerintah tidak buru-buru memberlakukan syarat BPJS ini. Regulasi tersebut hanya akan tepat dan efektif berjalan jika sejumlah syarat terpenuhi," kata dia, dilansir dari siaran pers yang diperoleh Gatra.com pada Jumat, (11/3).
"Pertama, tiga menteri [Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Menteri Sosial] telah membereskan 20 puluh PR [pekerjaan rumah] yang diinstruksikan. Kedua, kementerian dan lembaga telah mengintegrasikan syarat baru [BPJS] tersebut dalam standar pelayanan di instansi mereka," tutur Robert.
Namun berdasarkan pantauan ORI, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) per 1 Maret 2022, telah memberlakukan persyaratan kepesertaan BPJS Kesehatan dalam pengurusan pendaftaran dan peralihan hak atas tanah oleh masyarakat. "Mestinya pastikan dulu bahwa dua syarat di atas terpenuhi. Kami meminta agar terhadap warga yang belum bisa memenuhi syarat BPJS, jangan dikenakan sanksi, termasuk tidak diberikan layanan. Tetap harus dilayani," kata Robert.
Dia melanjutkan, justru proses tersebut harus dijadikan pintu masuk bagi Kementerian ATR untuk berkoordinasi dengan BPJS dan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/Pemda), agar difasilitasi pendaftaran kepesertaan mereka. Dia juga kembali mengingatkan bahwa pelayanan publik merupakan hak masyarakat bahkan sebagian merupakan hak konstitusional masyarakat.
"Jangan lupa bahwa di UU [Undang-Undang] Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sudah ada standar pelayanan publik. Jika ada tambahan syarat seperti kepesertaan BPJS ini maka tidak bisa hanya melalui Inpres atau peraturan menteri, tetapi wajib diatur dalam UU atau setidaknya PP [Peraturan Pemerintah]," Robert menjelaskan.
Selain itu, dia khawatir apabila persyaratan mengakses pelayanan publik ini tidak dilakukan sesuai prosedur pembentukan kebijakan publik, maka di kemudian hari akan muncul persyaratan baru sebagai diskresi bermasalah di pusat maupun terutama di daerah. "Bisa saja nanti ada menteri atau kepala daerah mana lagi yang menjadikan produk mereka sebagai syarat pelayanan publik. Ini akan semakin membebani masyarakat," ujar Robert.
Dengan demikian, ORI meminta pemerintah mencermati efektivitas dari pemberlakukan BPJS Kesehatan sebagai syarat akses pelayanan publik ini. "Niat sudah baik untuk meningkatkan prosentase jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan yang saat ini 86 persen untuk mencapai target 98 persen pada tahun 2024. Tapi caranya juga harus benar. Perlu masa transisi yang cukup," Robert menambahkan.
ORI pun mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan sosialiasi, edukasi, serta sinergi koordinasi terkait pelayanan BPJS Kesehatan. Di antaranya, sosialisasi kepada masyarakat yang masuk kategori penerima bantuan iuran namun belum terdaftar dan kepada seluruh pemberi kerja agar menjalankan kewajibannya dalam mendaftarkan dan membayarkan iuran BPJS Kesehatan pekerjanya.
Selain itu, ORI juga meminta BPJS Kesehatan untuk melakukan perbaikan kualitas tata kelola layanan kesehatan dan mempermudah pelayanan fasilitas kesehatan (faskes) rujukan. "Ombudman telah membaca niat dari Inpres ini dan niatnya baik. Namun niat yang baik untuk mengoptimalkan kepesertaan JKN [Jaminan Kesehatan Nasional] tersebut mesti dikuti dengan cara yang benar agar tidak membebani masyarakat itu sendiri," kata Robert.