Jakarta, Gatra.com - Wacana penundaan kontestasi lima tahunan menjadi bola panas yang dilemparkan oleh beberapa elit di lingkungan parlemen. Pemilu yang seharusnya dijadwalkan pada 2024 diusulkan untuk ditunda 1-2 tahun.
Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Sayyidatul Insiyah mengatakan bahwa apapun alasannya, penundaan Pemilu adalah bentuk pembangkangan terhadap Pasal 22E ayat (1) Konstitusi. Apabila stabilitas ekonomi dijadikan dalil utama penundaan pemilu, seolah pemerintah lupa bahwa pemindahan ibu kota negara justru dilakukan begitu saja di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
“Untuk itu, SETARA mengingatkan elit politik baik di lingkungan parlemen maupun istana untuk tidak membuat kegaduhan dengan usulan perubahan rencana ketatanegaraan yang tak berlandaskan urgensi yang nyata,” kata Sayyidatul, Senin (7/3).
Menurut SETARA, usulan penundaan pemilu merupakan aspirasi para pengusaha dengan dalil perlunya waktu untuk memulihkan stabilitas ekonomi nasional akibat pandemi. Sayyidatul menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan pengusaha.
“Rakyat yang dimaksud konstitusi tentu seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir kelompok saja, apalagi golongan elit pengusaha,” jelasnya.
SETARA mengingatkan bahwa pemilu tidak hanya sebagai kontestasi penyaluran suara rakyat semata, namun juga sebagai momentum regenerasi aktor-aktor politik negara. Terlebih, rezim Presiden saat ini telah menginjak pada dua tahun periode kepemimpinannya.
“Jangan sampai singgasana Presiden terus melanggeng hingga melebihi 10 tahun lamanya. Selain tidak sesuai dengan desain konstitusional negara, fenomena tersebut juga akan semakin membuka celah terjadinya power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely,” imbuh Sayyidatul.