Jakarta, Gatra.com– Wakil Ketua Komite I DPD RI, Abdul Kholik, mengatakan bahwa di tengah riuhnya wacana penundaan pemilu belakangan ini, terdapat fenomena eksekutif yang terlalu dominan (heavy executive) di baliknya.
“Ekesekutif itu begitu dominan. Bahkan legislasi ini penentunya eksekutif. Ditarget sama eksekutif. Seolah-olah legislatif ini sangat kentara ketergantungannya kepada desain dari eksekutif. Ini tidak sehat ya,” ujar Abdul dalam sebuah webinar, Sabtu, (5/3/2022).
Lebih lanjut, Abdul menyebut bahwa problem ini memang sudah terjadi dari generasi ke generasi. Reformasi yang diharapkan bisa menghapus persoalan ini juga disebut tak mampu membendungnya. Setelah Reformasi, katanya, masalah ini kerap muncul lagi.
Abdul mengingatkan bahwa dominasi eksekutif berpotensi membawa iklim politik Indonesia menuju tirani mayoritas. Kondisi tersebut, katanya, bisa mempersempit ruang bagi minoritas untuk bersuara.
Hal senada juga pernah diutarakan oleh lembaga independen pengawas DPR, Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi). Dalam kritiknya pada akhir tahun lalu, Formappi menyebut bahwa DPR terlalu merasa inferior di hadapan eksekutif.
“Tercermin dari gampangnya kebijakan dibahas dan diputuskan DPR lebih memperlihatkan wajah DPR yang tak berdaya, tumpul, tak punya sikap kritis dan tegas serta ‘manut’ pada pemerintah,” ujar peneliti Formappi bidang legislasi, Lucius Karus, dalam keterangan tertulisnya pada Selasa, (28/12/2021).
Menurut Formappi, cepatnya proses pembahasan dan mudahnya DPR menyetujui suatu kebijakan yang dilayangkan oleh pemerintah sama sekali tak menandakan kalau DPR telah mempertimbangkan kebijakan tersebut secara matang.
Alih-alih demikian, DPR justru disebut cenderung lebih dikendalikan oleh pemerintah. Formappi menyebut bahwa kendali pemerintah tersebut dilakukan melalui parpol-parpol koalisi yang menjadi acuan fraksi-fraksi di parlemen.
Formappi mencatat bahwa sepanjang 2021, belum ada satu pun kebijakan negara yang harus melalui proses pembahasan yang alot, penuh perdebatan sengit, hingga deadlock.
“Pelaksanaan fungsi pengawasan yang biasanya menjadi semacam instrumen penting bagi DPR untuk menunjukkan kekuasaan terhadap pemerintah tak pernah memunculkan ‘ancaman’ serius,” kata Lucius.