Jakarta, Gatra.com - Eskalasi konflik Ukraina-Rusia yang terjadi lebih dari sepekan mengundang perhatian dunia internasional. Dunia mengutuk pelanggaran Rusia integritas teritorial Ukraina, setelah Kremlin menginvasi wilayah bekas Uni Soviet tersebut. Presiden Rusia Vladimir Putin menolak klaim invasi. Ia berdalih serangan Rusia ke Ukraina merupakan bagian dari operasi militer khususs di Donbas guna membela pemberontak pro-Moskow yang ingin memisahkan diri dari wilayah Ukraina, serta melindungi keamanan negaranya.
Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia, Sung Yong Kim turut memberikan pandangan terkait langkah yang dilakukan AS beserta negara-negara sekutu (aliansi) dalam menyikapi operasi militer Rusia di Ukraina, yang terus memakan korban sipil. Dubes Kim menyatakan, serangan yang dilakukan Rusia telah menciderai perdamaian dan demokrasi. Meski demikian, Kim memuji ketangguhan rakyat Ukraina dalam menghadapi situasi.
“Rakyat Ukraina sangat tangguh. Mereka telah menjalani demokrasi selama beberapa dekade, dan keberanian mereka menginspirasi dunia,” ujar Kim dalam keterangan persnya pada Jumat, 4 Maret 2022.
Ia menyebut, AS bersama mitra dan sekutu akan terus mendukung rakyat Ukraina membela negaranya. Kim yang pernah menjabat Perwakilan Khusus AS untuk Kebijakan Korea Utara (DPRK) di Washington DC itu menyampaikan, invasi Rusia akan berjalan sia-sia. “Dengan memilih untuk membiayai perang daripada berinvestasi untuk kebutuhan Rusia, invasi Putin ke Ukraina akan menjadi kegagalan strategis bagi Kremlin dan merusak masa depan rakyat Rusia,” ucapnya.
Menurutnya, serangan Rusia ke Ukraina tidak berlangsung dadakan. Menurut informasi kredibel yang diterima Pemerintah AS, Putin sudah merencanakan serangan ke Ukraina sejak lama. Putin secara metodis, memindahkan lebih dari 150.000 tentara serta peralatan militer ke perbatasan Ukraina. Kremlin juga diklaim telah memindahkan pasokan darah mendekat ke negaranya serta membangun banyak rumah sakit di lapangan.
“Hal itu akan menunjukkan bahwa pilihan Putin untuk meluncurkan serangan yang tidak beralasan, tidak dibenarkan, dan terencana membuat dunia lebih bersatu dan Rusia secara eksponensial lebih lemah,” ungkap Kim.
Menurutnya, apa yang dilakukan Rusia saat ini tidak jauh berbeda dari sejarah di mana Rusia menginvasi Ukraina pada 2014 dan Georgia pada 2008. “Rusia terus menjustifikasi agresi militernya secara tidak benar dengan mengklaim kebutuhan untuk menghentikan genosida di Ukraina. Meskipun tidak ada bukti bahwa genosida terjadi di sana,” ujar Kim.
Ia menyayangkan, keputusan Pemimpin Rusia yang memilih berinvestasi untuk perang, dibandingkan memelihara perdamaian dan berinvestasi untuk kemajuan ekonomi. Kim menyebut, informasi yang disampaikan AS berdasar pada fakta akurat—bukan asumsi dan kampanye misinformasi. “Kami selalu transparan terhadap dunia. Kami mendeklasifikasi informasi intelijen kami sehubungan rencana Rusia ini agar tidak ada kebingungan maupun yang ditutup-tutupi,” katanya.
Lelaki yang pernah menjadi penjabat Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik itu meyakini, Kebebasan, demokrasi, dan martabat manusia adalah kekuatan yang jauh lebih tangguh dibandingkan ketakutan dan penindasan. “Dalam kontestasi antara demokrasi dan otokrasi, antara kedaulatan dan penaklukan, satu yang pasti benar: Kebebasan akan menang,” pungkasnya.