Home Gaya Hidup Catatan Dua Tahun Pandemi: Budaya Gotong Royong jadi Bernilai Lagi

Catatan Dua Tahun Pandemi: Budaya Gotong Royong jadi Bernilai Lagi

Jakarta, Gatra.com – Pandemi Covid-19 sudah mewabah di Tanah Air selama dua tahun. Pertama kali diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Maret 2020, krisis kesehatan ini masih belum lenyap walau gelombang ketiga menunjukkan tren penurunan.

Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, mengungkapkan, refleksi yang pihaknya pelajari selama dua tahun terakhir. Ia menyebut pandemi Covid-19 sebagai pengalaman yang luar biasa yang memberi banyak pelajaran. Pelajaran paling utama adalah mengenai pentingnya kolaborasi atau gotong-royong.

“Yang paling penting dari semua itu adalah kolaborasi. Bagaimana penanganan pandemi ini bisa kita dengan kolaborasi semua pihak,” ujar Nadia kepada Gatra.com melalui sambungan telepon, Kamis (3/3).

Nadia mengapresiasi pihak pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, media massa, hingga kalangan epidemiolog yang bahu-membahu meringankan krisis. Ia menilai positif kolaborasi di tingkat masyarakat terbawah, yaitu ketika warga di tingkat RT dan RW saling memberi makanan ketika ada pasien yang sedang menajalankan isolasi mandiri (isoman) di rumah.

Sikap kolaboratif di akar rumput ini juga pernah diapresiasi oleh eks Presiden Indonesia, Megawati Soekarnoputri, di pertengahan tahun lalu saat gelombang kedua akibat varian Delta sedang memuncak. Ia menyebut bahwa upaya kolaboratif itu dengan istilah yang lebih klasik, yaitu gotong-royong.

“Umpamanya, tetangga saja yang tadinya tidak kenal, saling bertukar makanan. Belum lagi, saya lihat anak-anak muda seperti bikin grup-grup, begitu, bikin nasi bungkus, iuran uangnya, lalu mencari pemulung. Itu saya lihat, lho, bukannya tidak saya lihat,” ujar Megawati dalam sebuah kesempatan.

“Artinya, aduh alhamdulillah yang namanya budaya gotong royong itu memang budaya kita,” ujar putri dari Soekarno tersebut.

Kalangan epidemiolog juga senada dengan yang diungkap Nadia dan Megawati soal kolaborasi. Epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Iwan Ariawan, mengapresiasi kerja sama holistik antara pihak pemerintah dan masyarakat sipil. Menurutnya, kerja sama positif keduanya berhasil membantu meringankan masa-masa sulit ini.

“Kalau pemerintah saja percuma. Kalau masyarakat aja juga percuma. Harus dua-duanya,” ujar Iwan kepada Gatra.com melalui sambungan telepon, Rabu (2/3).

Penilaian sedikit skeptis datang dari epidemiolog asal UI lainnya, Tri Yunis Miko Wahyono. Ia tak menampik kolaborasi jadi modal utama keberhasilan Tanah Air menghalau Covid. Namun, ia punya sedikit catatan.

Kata Tri, kolaborasi koordinatif di tingkat otoritas masih tumpang tindih sehingga hasilnya tidak begitu optimal. Ia mempertanyakan mengapa panglima tertinggi melawan Covid-19 bukan Kementerian Kesehatan, melainkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.

“Upaya penanggulangan sudah komprehensif, tapi tidak maksimal. Secara organisasi, kita tidak belajar. Negara-negara lain semua di bawah Kemenkes. Kenapa negara kita di bawah Menko Ekonomi? Kita harus belajar. Kita harus punya ketahanan sistem kesehatan yang baik,” kata Tri kepada Gatra.com melalui sambungan telepon, Rabu (2/3).

75