Banyumas, Gatra.com - Ahli Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), dr.Nia Krisniawati,Sp.MK menyatakan Covid-19 hingga saat ini masih menjadi pandemi. Apalagi dengan adanya mutasi virus yang menyebabkan munculnya varian-varian baru yang lebih cepat menular.
Dia menjelaskan, mutasi virus berlangsung terus-menerus dan merupakan siklus alamiah virus. Pandemi Covid-19 belum berakhir sekalipun kasus global mulai menurun, penyakit ini diprediksi akan terus ada.
“Untuk itu informasi yang benar dan faktual terkait Covid-19, termasuk varian Omicron, penting dalam pengendalian pandemi dan pencegahan penularan virus,” kata Nia dalam keterangannya, Jumat (4/3).
Terkait munculnya Omicron, Nia mengimbau untuk lebih menggalakkan kegiatan menjaga kebersihan. Pencegahan penularan Covid-19 juga perlu ditingkatkan hingga level terkecil masyarakat melalui penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro Posko Desa atau kelurahan.
"Pemerintah daerah juga perlu kembali menegakkan protokol kesehatan sesuai dengan level PPKM di daerah masing-masing demi menekan laju kasus," ujarnya.
Menurutnya, Omicron terus menyebar secara global dan telah diidentifikasi di sebagian besar negara di enam wilayah WHO. Secara global, selama 14-20 Februari 2022, jumlah kasus baru Covid-19 turun 21% dibandingkan dengan minggu sebelumnya. Jumlah kasus kematian menunjukkan tren menurun, yakni 8%.
“Penting untuk dicatat bahwa tren ini mungkin disebabkan karena penurunan tes diagnostik Covid-19 secara keseluruhan yang dipengaruhi oleh perubahan kebijakan di tiap negara,” ucap anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI) ini.
Dia mengungkapkan, berdasarkan metode yang digunakan oleh Campbell et al, dan yang berfokus pada negara-negara dengan data genome sequencing yang diunggah ke Global Initiative on Sharing Avian Influenza Data (GISAID) pada 18 Februari, menemukan keunggulan tingkat replikasi (tingkat pertumbuhan) Omicron dibandingkan Delta di semua negara.
Tingkat reinfeksi (infeksi berulang) dilaporkan lebih tinggi pada Omicron dibandingkan dengan Delta. Angkanya menunjukkan 13,6% vs 10,1% di United Kingdom, dan 31% vs .21% di Denmark.
Peneliti di China, Hong Kong SAR menemukan bahwa Omicron memiliki tropisme yang lebih tinggi di jaringan bronkus dibandingkan dengan paru-paru. Di United Kingdom, Omicron ditemukan lebih cepat menginfeksi saluran pernapasan bagian atas daripada Delta dan menghasilkan titer sekitar 100 kali lipat lebih tinggi.
Dua penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan melaporkan Omicron mampu menghindari kekebalan yang diperoleh dari vaksin maupun kekebalan dari infeksi sebelumnya. Hal ini juga bisa menjadi faktor yang berkontribusi pada tingkat pertumbuhan Omicron yang lebih tinggi dibandingkan dengan Delta.
“Hasil analisis dari konsultasi medis dan rawat inap baru-baru ini, Omicron secara konsisten ditemukan terkait dengan tingkat beratnya penyakit lebih ringan dibandingkan dengan Delta di seluruh studi yang dilakukan di Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Afrika Selatan,” jelasnya.
Data awal Omicron pada individu yang sebelumnya terinfeksi SARS-CoV-2 sejak awal pandemi menunjukkan peningkatan jumlah infeksi berulang di Denmark dan Israel. Risiko infeksi berulang lebih tinggi pada Omicron dibandingkan dengan varian SARS-CoV-2 lainnya dengan risiko yang bahkan lebih tinggi, dari data yang dilaporkan di seluruh Inggris.
Selain itu, kata dia, hasil studi efektivitas vaksin (VE) sulit untuk ditafsirkan, dan perkiraan bervariasi tergantung dengan jenis vaksin yang diberikan, jumlah dosis, dan penjadwalan (pemberian berurutan dari vaksin yang berbeda). Studi yang dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat melaporkan efektivitas vaksin mencapai 60%-75% terhadap infeksi simptomatik (bergejala) dengan Omicron.
Analisis data netralisasi (kemampuan antibodi menetralisir SARS-CoV-2) dari 23 laboratorium menemukan pengurangan 20 kali lipat dalam netralisasi terkait dengan varian Omicron pada individu yang tidak divaksinasi, yang sebelumnya terinfeksi atau individu yang telah menerima dua dosis vaksin.
Sedangkan serum dari individu yang divaksinasi dengan infeksi sebelumnya atau individu yang telah menerima tiga dosis vaksin menunjukkan pengurangan kemampuan netralisasi sebanyak tujuh kali lipat.
“Respon humoral yang berkurang ini dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi ulang. Sebaliknya, studi tentang imunitas seluler menunjukkan hasil yang baik respons yang dipertahankan (70%-80% dari respons CD4+ dan CD8+) yang dapat dikaitkan dengan penurunan risiko keparahan penyakit,” jelasnya.