Kendari, Gatra.com- Puluhan warga Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara (Sultra) kembali melakukan pengadangan alat berat milik perusahaan tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana (GKP), yang mencoba melakukan penerobosan lahan warga, Kamis (3/3).
Dalam video yang diterima jurnalis media ini, warga yang didominasi emak-emak ini berteriak histeris sambil menggulingkan diri di tanah, menghalangi excavator perusaahan melintasi lahan mereka.
Akibat dugaan penerobosan tersebut, beberapa warga yang mencoba mempertahankan lahan mereka jatuh pingsan.
Warga setempat, Muslimin mengungkapkan, anak perusahaan Harita Group tersebut melakukan penerobosan di lahan milik La Dani dan Saharia. Kedua warga ini sejak awal menolak kehadiran perusahaan tambang di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepualauan.
"Pagi ini PT GKP kembali serobot lahan warga. Pihak perusahaan ikut memanfaatkan warga 'pro tambang' untuk berhadapan dengan warga yang menolak. Selain itu, terdapat sejumlah orang yang tak dikenal berada di lokasi kejadian," ujar Muslimin, Kamis (3/3).
Ironisnya, sambung dia, aparat kepolisian dan TNI yang berada di lokasi cenderung membiarkan tindakan penyerobotan lahan yang dilakukan pihak perusahaan.
Koordinator Hubungan Masyarakat (Humas) PT GKP, Marlion mengklaim, lahan tersebut milik perusahaan yang dibeli dari salah seorang warga bernama Wa Asina. Proses jual beli terjadi pada 22 November 2021. "Kami sudah beli, sudah kami bebaskan. Kami akan membersihkan untuk membuat jalan ke lokasi tambang," kata Marlion.
Dia mengaku, pihaknya memiliki dokumen yang lengkap soal kepemilikan lahan itu. Marlion pun menantang warga agar melaporkan pihak perusahaan jika punya bukti yang resmi soal lahan itu. "Kalau memang itu lahan milik mereka, tunjukkan alas haknya dan laporkan kami," tandasnya.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Muh Jamil menuturkan, dugaan penyerobotan lahan dimulai pada Selasa (1/3) sekitar pukul 14.00 Wita. Semula terjadi di lahan milik La Dani, namun karena mendapat perlawanan dari warga, PT GKP lalu berbalik menuju sungai Tamo Siusiu.
Menurut keterangan warga, PT GKP berencana masuk melalui badan sungai Tamo Siusiu menuju lahan yang sebelumnya sudah dibebaskan. Namun, warga kembali melakukan penghadangan, sebab sungai ini sebagai salah satu sumber air warga yang selama ini dimanfaatkan untuk konsumsi (air minum, memasak, dan mencuci).
Perlawanan yang terus dilakukan warga membuat pihak perusahaan kembali menyasar lahan milik La Dani, lalu secara paksa melakukan penerobosan. Akibatnya pagar pembatas lahan yang dibangun warga dan tanaman jambu mete rusak.
Penerobosan PT GKP yang dikawal ketat aparat kepolisian dan TNI ini bukan yang pertama. PT GKP tercatat sudah berulang kali melakukan penerobosan lahan, mulai pada 9 Juli 2019 sekitar pukul 11.00 Wita di lahan milik Ibu Marwah.
Kemudian, pada 16 Juli 2019 sekitar pukul 15.00 Wita di lahan milik Idris. Pada 22 Agustus 2019 di lahan milik Amin, Wa Ana, dan Labaa (Almarhum).
Ironisnya, laporan warga atas nama Idris terkait penerobosan lahan PT GKP ke Polres Kendari pada 14 Agustus 2019, tapi belum ditindaklanjuti hingga penerobosan keempat terjadi.
"Adapun La Dani, warga pemilik lahan yang diterobos PT GKP hari ini, merupakan salah satu warga yang sejak awal menentang tambang masuk di Pulau Wawonii. La Dani, bersama warga penolak tambang lainnya atas nama Hastoma dan Hurlan ditangkap polisi pada Senin (24/1)," terang Jamil, Selasa (1/3).
Tiga warga yang ditangkap ini termasuk ke dalam 28 warga yang telah dilaporkan ke polisi pada 23 Agustus 2019 lalu oleh pihak perusahaan. Tuduhan yang dialamatkan kepada ketiganya saat itu, adalah terkait dugaan Tindak Pidana Perampasan Kemerdekaan Terhadap Seseorang, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 333 KUHP. Hingga kini, ketiga warga Wawonii itu masih ditahan dan mengikuti proses hukum di Polda Sultra.
Jamil menyebut, penerobosan berulang yang menyebabkan tanaman produktif warga hancur dan sebagian warga lainnya justru mengalami intimidasi, kekerasan, dan dikriminalisasi, hingga mendekam di penjara. Ini menunjukkan sikap dan posisi aparat kepolisian yang cenderung bekerja melayani kepentingan korporasi tambang dari pada rakyat itu sendiri.
Untuk itu, Jatam, KontraS, KIARA, LBH Makassar, dan warga setempat mengeluarkan beberapa poin desakan:
1. Mendesak Kapolda Sulawesi Tenggara dan Kapolres Kendari untuk segera tarik seluruh aparat kepolisian dari lokasi.
2. Mendesak Kapolri untuk menindak tegas Kapolda Sulawesi Tenggara dan Kapolres Kendari yang membiarkan pasukannya mengkawal PT GKP dalam melakukan penerobosan lahan milik warga.
3. Mendesak Panglima TNI untuk menindak dan menghukum dengan maksimal anggotanya yang diduga terlibat dan melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pengawalan penerobosan lahan warga oleh PT. GKP.
4. Mendesak Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk segera lakukan investigasi atas dugaan tindak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan PT GKP dan aparat kepolisian di Sulawesi Tenggara.
5. Mendesak Menteri ESDM untuk segera hentikan aktivitas PT GKP, evaluasi segera, dan cabut IUP yang telah diterbitkan.