Jakarta, Gatra.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) segera menyampaikan jumlah kerugian keuanga atau perekonomian negara akibat kasus dugaan korupsi proyek pembangunan pabrik Blast Furnance (BFC) pada PT Krakatau Steel (Persero).
“Dalam waktu dekat, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus akan mengumumkan kerugian riil terkait perkara dimaksud,” kata Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung di Jakarta, Selasa (2/3).
Kerugian keuangan negara tersebut segera disampaikan, lanjut Ketut, setelah Tim Jaksa Penyidik Pidsus Kejung dan Tim Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan koordinasi pada hari yang sama.
“[Koordinasi] guna menentukan adanya potensi kerugian keuangan negara terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi pada Proyek Pembangunan Pabrik Blast Furnance oleh PT Krakatau Steel (Persero),” ujarnya.
Ketut menyampaikan, dalam konferensi pers pada Kamis, 24 Februari 2022, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan pada awalnya proyek pembangunan pabrik Blast Furnace (BFC) tersebut dilaksanakan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering.
Menurutnya, hal tersebut sesuai hasil lelang tanggal 31 Maret 2011 dengan nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp6.921.409.421.190 (Rp6,9 triliun lebih) dan telah dilakukan pembayaran kepada pihak pemenang lelang senilai Rp5.351.089.465.278 (Rp5,3 triliun).
Pekerjaan kemudian dihentikan pada tanggal 19 Desember 2019. Padahal pekerjaan belum 100% dan setelah dilakukan uji coba operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar.
“Selain itu, pekerjaan sampai saat ini belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi,” katanya.
Burhanuddin menyampaikan, kasus dugaan korupsi proyek pembangunan pabrik Blast Furnance (BFC) pada PT Krakatau Steel (Persero) tersebut awalnya diselidiki Pidsus Kejagung berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan dari Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print- 22/F.2/Fd.1/10/2021 tanggal 29 Oktober 2021.
Adapun pabrik tersebut menggunakan bahan bakar batu bara agar biaya produksinya lebih murah dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar gas. Proyek tersebut dibangun dengan maksud untuk memajukan industri baja nasional.
Setelah dilakukan uji coba operasi, ternyata biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasaran. Selain itu, pekerjaan sampai saat ini belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi.
“Oleh karena itu peristiwa pidana tersebut dapat menimbulkan kerugian keuangan negara,” ujar Burhanuddin.
Sedangkan untuk pengusutan kasus ini, lanjut dia, penyelidik masih terus melakukan penyelidikan serta telah memeriksa sebanyak 50 orang. Selian itu, tim penyelidik juga telah berkoordinasi dan meminta keterangan kepada ahli, antara lain dari PPATK, LKPP, dan ahli teknis terkait pekerjaan.
“Dalam penyelidikan kasus tersebut penyelidik telah menemukan peristiwa pidana,” katanya.