Jakarta, Gatra.com – Rektor Universitas Paramadina Jakarta, Didik J Rachbini, mempunyai banyak kenangan indah bersama pengusaha hebat pendiri Medco Group, Arifin Panigoro, yang wafat di Amerika Serikat (AS).
“Saya sebagai sahabat sering dan rutin diundang di kediaman [Arifin Panigoro] untuk bicara masalah sosial politik,” ungkapnya di Jakarta, Senin malam.
Menurutnya, ia bersama sejumlah tokoh, seperti Komaruddin Hidayat, Heri Akhmadi, Faisal Basri, sutradara Garin Nugroho, dan lain-lain diundang Arifin Panigoro untuk berdiskusi berbagai hal.
“Dari situ saya mengetahui bahwa Arifin Panigoro adalah seorang pengusaha yang mempunyai jalinan luas dengan semua golongan, seperti aktivis, seniman, politisi, dan lain sebagainya,” kata dia.
Ia mengungkapkan, keluarga Arifin Panigoro adalah perantau dari Gorontalo yang bermigrasi ke Jawa sebelum kemerdekaan. Seperti diketahui, dari teori ekonomi sumber daya manusia bahwa kualitas manusia yang menentukan ekonomi dan keberhasilan bisnis adalah kualitas dan ketahanan fisik, keterampilan atau keahlian, serta migrasi.
”Yang terakhir ini adalah kemampuan melakukan perubahan mental di mana suku bangsa atau bangsa yang bermigrasi adalah kelompok yang bermental kuat, entrepreneur, dan umumnya sukses dalam bisnis,” katanya.
Karena latar belakang keluarga perantau, bermental wirausaha entrereneur, serta lulus universitas terbaik Institut Teknologi Bandung (ITB), Didik mengaku tidak heran jika Arifin Panigoro sukses mengasuh Medco Energy dan bahkan mendunia.
“Kita kehilangan pengusaha hebat, sekaligus putra bangsa yang terpilih dan terbaik karena sudah memberikan sumbangsih besar bagi negeri, membangun dunia usaha, mengembangkan kesempatan kerja yang luas, dan menampilkan Indonesia di dunia bisnis internasional,” ujarnya.
Didik juga menceritakan hubungan Arifin Panigoro dengan Universitas Paramadina. Menurutnya, hubungan tersebut dimulai pasca-Reformasi. Saat itu, sekelompok aktivis, seperti Sudirman Said, Erry Riyana, Arifin Panigoro, dan kawa-kawan hendak mencari sosok pemimpin yang antikorupsi dengan rekam jejak yang jelas.
Berdasarkan pemikiran dan mungkin penerawangan para aktivis ini, maka sosok Nurcholish Madjid lah yang dinilai cocok menjadi pemimpin tersebut. Karena itu, kelompok ini kemudian "berkampanye" mencalonkan Nurcholish Madjid sebagai calon presiden era Reformasi.
Kiprah Arifin, kata Didik, tentu saja wajar karena dialah aktor di dalam Reformasi tersebut sehingga terpikir untuk menemukan sosok anti-tesis dari tokoh-tokoh Orde Baru. Gerakan tersebut sempat bergema, tetapi akhirnya padam dengan sendirinya karena Cak Nur tidak punya “gizi”.
“Istilah 'gizi' ini diceritakan Cak Nur ketika datang ke partai, diejek: 'Dari mana gizinya cak?' Cerita dalam maknanya karena sampai sekarang politik memang masih 'blepotan' dengan politik uang,” ujarnya.
Seperti diketahui, Nurcholish Madjid adalah pendiri Universitas Paramadina yang pertama. Komarudin Hidayat adalah ketua umum Yayasan Paramadina. Ada juga tokoh sahabat Cak Nur, yaitu Sudirman Said yang sempat menjadi pejabat rektor Universitas Paramadina setelah Cak Nur wafat.
“Dari sini hubungan Arifin Panigoro dengan Paramadina begitu dekat, bahkan dengan murid-murid Cak Nur, seperti Komarudin Hidayat, Didik Rachbini, Fachry Ali, dan lainnya,” kata dia.
Hal kedua yang sangat penting, lanjut Didik, adalah ketika Anies Baswedan menjadi Rektor Universitas Paramadina. Saat itu, satu lantai dari Gedung Energy didedikasikan untuk Paramadina Graduate School (PGS). Universitas Paramadina kemudian boleh berbangga mempunyai kampus di SCBD, daerah yang sangat keren.
“Tentu semua civitas akademika Universitas Paramadina sangat berterima kasih atas kebaikan hatinya [Arifin Panigoro],” katanya.
Didik menuturkan, selalu ingat rumah di Jalan Jenggala 1, yang menjadi rumah aktivis dan tempat berkumpul para aktivis, seniman, dan orang-orang yang suka demokrasi dan pergerakan. Teman-teman dan tokoh-tokoh sering berkumpul di sana, seperti Heri Akhmadi, Komarudin Hidayat, Faisal Basri, Garin Nugroho, Eros Jarot, Sri Mulyani, ilmuwan Jepang Prof. Takashi Shiraishi, dan lebih banyak lagi yang tidak bisa disebut.
Banyak sekali tokoh sudah tidak terhitung berkumpul cukup sering dan rutin di rumah yang asri tersebut. Bukan sekadar makan malam, tetapi berbincang politik dan keadaan negeri, yang sebenarnya merupakan kepedulian dan kecintaan Arifin Panigoro terhadap bansa dan Tanah Air.
“Di dalam politik, saya menilai Arifin Panigoro adalah pendobrak dan tidak suka terhadap status quo. Masuk ke dalam politik sebagai anggota DPR 2004-2009 sebagai ketua Fraksi PDIP di mana saya juga menjadi ketua Komisi VI DPR RI,” katanya.
Menurutnya, poisi tersebut tidak membuat Arifin Panigoro puas karena kondisi partai tidak berubah sehingga memunculkan ide untuk membentuk partai baru bersama kawan-kawan seperjuangannya, Laksama Sukardi, Mintohardjo, Noviantika Nasoetion, dkk.
“Tidak betah di satu tempat jika banyak masalah sebenarnya merupakan kritik dan aksi kongkret tidak suka terhadap apa yang dihadapinya,” kata Didik.