Jakarta, Gatra.com – Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia, Dr. Jimmy Simanjuntak, S.H., M.H., menyampaikan, banyak hal mutakhir atau kekinian dalam praktik bisnis yang tidak diatur dalam KUH Perdata.
Jimmy dalam webinar bertajuk “Pandangan Praktisi atas Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perikatan Nasional” gelaran Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) pada Sabtu (26/2), menyebutkan, hal-hal tersebut kiranya perlu diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang (UU) Perikatan nasional.
Menurutnya, meski ketentuan-ketentuan hukum perikatan di dalam KUH Perdata secara umum relatif masih mampu mendukung hukum kepailitan dalam rangka mencapai tujuan hukum kepailitan, namun perlu ada pembaruan karena belum mengatur berbagai hal yang ada di tengah masyarakat.
Hukum perikatan memiliki keterkaitan erat, terutama dengan kedudukan kreditur, debitur, perjanjian dalam kaitannya dengan harta debitur. Namun harus diakui, khususnya dalam praktik bisnis modern yang didorong dengan perkembangan teknologi informasi, KUH Perdata telah banyak ketinggalan.
Senada dengan Jimmy, Ketua Bidang Prodi Kenotariatan Ikatan Notaris Indonesia, Alwensius, S.H., M.Kn., menyampaikan, beberapa permasalahan terkait adanya kebutuhan dalam praktik bisnis yang saat ini berkembang pesat dan melahirkan pelbagai lembaga hukum baru.
Ia berpendapat, perlunya asas-asas hukum perjanjian dirumuskan secara jelas di dalam undang-undang hukum perikatan, misalnya mengenai kapan asas itikad baik berlaku, pengaturan mengenai pembeli yang beritikad baik, serta batasan-batasan asas kebebasan berkontrak.
Beberapa perjanjian, lanjut Alwensius, perlu mendapatkan pengaturan di dalam undang-undang hukum perikatan, yaitu mengenai pengaturan jual-beli, khususnya untuk objek tanah yang mengacu pada hukum adat, perjanjian pengikatan jual-beli atas tanah dan satuan rumah susun, perjanjian pra-kontrak, perjanjian baku, serta perjanjian yang timbul berdasarkan kebiasaan dalam praktik, misalnya leasing, BOT, BTO, perjanjian konstruksi, dan perjanjian yang timbul dari perdagangan elektronik.
Selain itu, kata dia, perlu pula diatur secara tegas perjanjian-perjanjian tertentu yang harus dituangkan dalam akta notaris sebagai bentuk perlindungan hukum bagi konsumen ataupun para pihak.
Adapun Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya , Prof. Dr. M. Isnaeni, S.H., M.S., menyampaikan, urgensi perlunya pembaruan hukum perikatan. Menurutnya, urgensi tersebut dengan mempertimbangkan KUH Perdata yang diundangkan 180 tahun yang lalu, sementara perkembangan masyarakat dan bisnis telah sedemikian pesat dan kedudukan hukum perikatan merupakan bagian sentral dalam tata kehidupan masyarakat.
Profesor yang juga Anggota Dewan Pembina APHK ini, lebih lanjut menyampaikan,? dalam pembaruan hukum perikatan dapat dipertimbangkan mengenai sumber perikatan tidak lagi berupa perjanjian dan undang-undang, namun cukup dinyatakan bahwa sumber perikatan adalah hukum.
“Undang-undang hukum perikatan nanti hendaknya lebih diberikan nuansa bisnis/komersial sehingga lebih berfokus pada perjanjian atau kontrak,” katanya.
Soal hukum perikatan ini, APKH sedang merampungkan naskah akademik untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Perikatan. Ketua APHK, Prof. Yohanes Sogar Simamora, mengatakan, pihaknya menyusun naskah akadmek tersebt sejak 2019.
“Nasakah akademik RUU Perikatan yang disusun oleh Tim APHK dikoordinir oleh Prof. Dr. Joni Emirzon dari Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (FH Unsri) Palembang, sedang dalam proses finalisasi,” ujarnya.
Menurutnya, penyusunan naskah akademik RUU Perikatan ini merupakan salah satu agenda penting APHK untuk melakukan pembaruan dan pengembangan hukum keperdataan yang saat ini sumber utamanya terdapat dalam Buku III KUH Perdata.
“APHK mengusulkan agar dibuat dan diundangkan suatu UU khusus tentang perikatan. Hukum kontrak merupakan salah satu bagian penting yang diatur di dalamnya,” kata Sogar.