Jakarta, Gatra.com – Konflik antara Rusia dan Ukraina belum mereda. Ini bukan kali pertama kedua negara bersitegang. Sebelumnya konflik Rusia-Ukraina terjadi pada tahun 2014 di mana pemimpin Ukraina saat itu, Viktor Yanukovych, membatalkan pembicaraan kerja sama politik dan perdagangan dengan Uni Eropa.
Hal ini memicu bergulirnya demonstrasi di Ukraina yang menuntut mundur Yanukovych, hingga akhirnya pemimpin Ukraina pro-Rusia tersebut pun digulingkan. Tak hanya itu, pada tahun tersebut Rusia berhasil merebut salah satu wilayah Krimea, Ukraina di mana tindakan tersebut menyebabkan situasi semakin memanas.
Pada Januari 2022, intelijen Kementerian Pertahanan Ukraina melaporkan, Rusia telah menempatkan lebih dari 127 ribu pasukan di dekat negaranya. Meski, Rusia berulang kali membantah merencanakan invasi terhadap Ukraina dan menegaskan bahwa Rusia tidak mengancam negara manapun.
Relasi Ukraina yang semakin dekat dengan AS dan NATO juga dinilai menjadi sumber ketegangan dengan Rusia. Rusia khawatir masuknya Ukraina ke NATO bakal menimbulkan ancaman bagi wilayah mereka. Di mana Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia dapat menjadi garda terdepan NATO untuk menyerang Rusia. Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengungkapkan Amerika Serikat berencana mengendalikan negaranya.
Dampak Ekonomi Konflik Geopolitik Rusia - Ukraina secara Global
Konflik geopolitik Rusia dengan Ukraina tentu dikhawatirkan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi seluruh negara di dunia yang sedang berusaha bangkit dari pandemi. Konflik juga dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran aktivitas ekspor dan impor antara Rusia dan negara Eropa lainnya, di mana Ukraina berperan penting sebagai pengikat kedua belah pihak.
Konflik juga membuat para investor global pesimis berinvestasi di sejumlah negara berkembang lainnya. Hal itu dapat dilihat dari indeks Dow Jones Industrial Average yang ditutup turun sekitar 1,8%, diikuti indeks S&P 500 yang juga anjlok 2,1% ke 4.380,3 dan Nasdaq Composite yang terkoreksi turun 2,9% ke 13.716,7 pada Kamis (17/2).
Selain itu, bursa Asia juga ikut terkoreksi tajam menyusul Wall Street. Pada Jumat (18/2), indeks Nikkei 225 terlihat anjlok 1,2% ke 26.903,6 – diikuti indeks Hang Seng yang turut melemah 0,6% ke 23.633,7. Hal itu terjadi karena investor beralih ke aset safe haven seperti obligasi dan emas yang dinilai lebih aman, menyusul ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
Dampak Ekonomi Konflik Geopolitik Rusia - Ukraina di Indonesia
Indonesia harus mewaspadai dampak konflik Rusia - Ukraina. Pengamat INDEF, Dzulfian Syafrian berpendapat, konflik akan berdampak pada naiknya harga minyak dunia di mana hal ini akan berpengaruh pada neraca perdagangan Indonesia, karena Indonesia banyak mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menteri Keuangan Sri Mulyani di beberapa kesempatan menyatakan, konflik Rusia - Ukraina berdampak langsung ke komoditas energi, gas maupun minyak di Indonesia. Konflik juga menimbulkan komplikasi bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan. Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, akan terus mengawal stabilitas sistem keuangan dalam negeri terutama volatilitas suku bunga, nilai tukar, hingga volatilitas indeks dan arus modal yang berimbas langsung ke sektor keuangan.
Di kesempatan terpisah, CEO Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani mengatakan, tidak dapat dipungkiri bahwa konflik Rusia - Ukraina akan berdampak pada ekonomi global, termasuk Indonesia. “Hal yang perlu dikhawatirkan adanya kemungkinan terjadinya krisis energi dikarenakan Rusia merupakan salah satu produsen utama minyak dunia, di mana hal ini dapat berpengaruh terhadap pergerakan harga minyak global,” kata Johanna dalam keterangan yang diterima Gatra.com, Sabtu (26/2).
Pemerintah menurutnya dapat mengantisipasi hal tersebut dengan melakukan diversifikasi suplai impor Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan gas dan batubara untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak bumi. Apabila konflik berlanjut, kenaikan harga minyak menurutnya akan berdampak ke peningkatan inflasi di Indonesia.
“Dari sisi moneter, konflik ini juga akan menekan the Fed untuk meningkatkan suku bunga acuan, di sini Bank Indonesia perlu memperhatikan kondisi domestik sebelum menaikkan suku bunga acuan karena dikhawatirkan akan mengganggu pemulihan ekonomi nasional”, tutup Johanna.