Palembang, Gatra.com – Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), mencatat pada kurun satu tahun terakhir sepanjang September 2020 sampai September 2021, angka kemiskinan di wilayahnya turun sebesar 0,19% dari 12,98% kini menjadi 12,79%.
Humas BPS Provinsi Sumsel, Trio Wira Dharma, mengatakan, jumlah penduduk miskin di Bumi Sriwijaya menurun menjadi 12,79%. Kendati begitu, sebenarnya daerah termiskin tersebut tidak fair jika untuk diperingkatkan.
“Ya, karena kategori kemiskinan itu bukan hanya dilihat dari kondisi kemiskinan itu saja, bisa juga dari kriteria ekonomi yang lainnya. BPS sendiri tidak melakukan pemeringkatan,” ujarnya di Palembang.
Menurutnya, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2020 sebesar 12,52% turun menjadi 12,36% pada Maret 2021 dan turun menjadi 11,99% pada September 2021. Peranan kelompok makanan terhadap Garis Kemiskinan (GK) jauh lebih besar dibanding peranan kelompok bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan).
“Sumbangan GKM [Garis Kemiskinan Makanan] terhadap GK pada September 2021 tercatat sebesar 74,16% turun jika dibanding kondisi Maret 2021 sebesar 74,45% dan turun jika dibanding kondisi September 2020 yang sebesar 74,49%,” katanya.
Lalu, lanjutnya, komoditas makanan yang berpengaruh besar terhadap GK di perkotaan relatif sama dengan di perdesaan. Mulai dari beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, gula pasir, mi instan, kopi bubuk dan kopi instan (sachet), serta roti. Sedangkan komoditas bukan makanan adalah perumahan, bensin, listrik, pendidikan, dan perlengkapan mandi.
“Jadi, persentase selama enam bulan turun 0,19%. Itu sudah sangat cukup karena kondisi kita pandemi. Kemudian, pertumbuhan ekonomi kita sudah mulai naik itu bagi BPS sudah menjadi suatu progres yang cukup,” ujarnya.
Guna mengukur kondisi penduduk miskin di Sumsel yang terdiri 17 kabupaten dan kota, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar atau basic needs approach. Melalui pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
“Dengan pendekatan ini bisa dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk,” ujarnya.
Sedangkan untuk Penghitungan Garis Kemiskinan, sambungnya, dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK.
“GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita per hari,” katanya.