Beijing, Gatra.com – China tetap menolak untuk menyebut tindakan Rusia di Ukraina sebagai invasi. Pemerintah Negeri Tirai Bambu juga enggan mengkritik Moskow meskipun serangan intensif dari militer Rusia ke Ukraina mengakibatkan peningkatan korban jiwa.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, kembali menegaskan bahwa pihaknya menghormati integritas teritorial semua negara. Dia pun menyebut persoalan Ukraina memiliki latar belakang sejarah yang kompleks dan khusus.
“Kami memahami kekhawatiran sah Rusia tentang masalah keamanan,” kata Wang kepada wartawan dalam briefing harian di Beijing, seperti dilansir Reuters, Jumat (25/2).
Wang menyatakan, negara-negara yang ikut campur urusan dalam negeri pemerintah lain yang justru akan ternodai reputasinya. Pernyataan ini membalas komentar Presiden AS Joe Biden bahwa negara mana pun yang mendukung invasi Rusia akan ikut ternodai.
Amerika Serikat (AS), Inggris, Jepang, Kanada, Australia, dan Uni Eropa telah menjatuhkan sanksi tambahan terhadap Moskow. Hal itu termasuk langkah Jerman untuk menghentikan proyek pipa gas Nord Stream 2 senilai US$11 miliar dari Rusia.
“Sanksi tidak pernah menjadi cara yang efektif untuk menyelesaikan masalah. Kami berharap pihak terkait dapat bekerja keras untuk menyelesaikan masalah lewat dialog dan konsultasi,” kata Wang saat ditanya kesiapan China untuk menambah pembelian minyak Rusia dalam menanggapi sanksi AS dan Uni Eropa.
Pada Kamis (24/2), Rusia meluncurkan serangan melalui darat, udara, dan laut ke Ukraina. Hal itu mengakibatkan sekitar 100 ribu orang melarikan diri saat ledakan dan tembakan mengguncang kota-kota besar serta puluhan warga tewas.
Pejabat AS dan Ukraina menyatakan, Rusia bermaksud merebut Kiev dan menggulingkan pemerintah Ukraina. Militer Rusia juga telah merebut bekas PLTN Chernobyl, sekitar 90 km utara Kiev, saat mereka maju di sepanjang rute terpendek ke ibu kota.
Menurut Putin, Rusia sedang melakukan ‘operasi militer khusus’ untuk melindungi penduduk, termasuk warga Rusia, yang menjadi sasaran ‘genosida’ di Ukraina. Tuduhan ini dianggap Barat sebagai propaganda tak berdasar.