Jakarta, Gatra.com - Baru hari Kamis (17/02/2022) jari Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyentuh lembaran akhir Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) untuk ditandatangani. Padahal, sudah sejak 18 Januari lalu beleid ini disahkan DPR. UU IKN yang baru saja masuk ke dalam lembaran negara ini langsung menuai protes.
Teranyar, Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) mendaftarkan permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Koalisi yang dipimpin oleh Marwan Batubara ini diisi pula oleh sosok gaek seperti Abdullah Hehamahua, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi, dan sejumlah purnawirawan jenderal TNI Angkatan Darat.
Marwan Batubara mengaku kebingungan dengan proses pembentukan UU IKN yang disahkan dalam rapat paripurna DPR, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 18 Januari lalu. Rasa heran Marwan didasari oleh pembentukan UU yang hanya memakan waktu 43 hari. Padahal jika bicara proses perumusan beleid, rata-rata pembahasannya bisa memakan waktu hingga tahunan. "Kalau proses pembentukannya cuma 43 hari, anda bicara partisipasi publik seperti apa?" ujarnya kepada GATRA, Selasa (08/02/2021).
Partisipasi publik memang menjadi satu hal yang disoroti pihak Marwan cs di dalam proses perancangan UU IKN. Hal itu juga yang membuat Marwan percaya diri, bahwa permohonan uji materi yang dilayangkannya bakal dikabulkan MK. Argumennya, berdasar pengalaman perjalanan UU Cipta Kerja, 2020 lalu, minimnya partisipasi publik menjadi pertimbangan MK untuk menetapkan bahwa suatu Undang-Undang dinyatakan Inkonstitusional, meskipun bersyarat.
Serupa dengan beleid sapu jagat itu, Marwan menilai bahwa perjalanan UU IKN pun tak memiliki partisipasi publik yang optimal. Dari 28 tahapan atau agenda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN di DPR, hanya ada 7 agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses publik. Sedangkan 21 agenda lainya yakni informasi dan dokumennya tidak dapat diakses publik. Padahal, publik pun memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi, untuk dipertimbangkan pendapatnya, serta mendengar jawaban dari pertanyaan yang dilayangkan kepada pembuat kebijakan. Di sini pentingnya parlemen yang terbuka. "Dan itu tidak terjadi. Kalau sudah seperti itu, ya MK seharusnya memutuskan UU tersebut inkonstitusional," imbuhnya.
Oleh karenanya, saat ini yang tengah ditempuh oleh PNKN melalui MK adalah Uji Formil. Karena pada prinsipnya, Marwan menyatakan proses pembentukan UU ini tidak sesuai konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Selain urusan partisipasi publik yang minim, Marwan juga menyoroti jeroan UU IKN. Menurutnya, banyak ketentuan lebih lanjut yang disebutkan dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan/atau Peraturan Presiden (Perpres). Dalam catatannya, disebutkan ada 13 PP dan/atau Perpres yang akan dirumuskan atau dibuat peraturannya oleh pemerintah, sehubungan dengan UU IKN tersebut. Hal, ini menurut Marwan, menjadi pendekatan yang salah. Karena pada dasarnya, di dalam UU sudah harus merumuskan ketentuan yang bersifat penting dan strategis.
Jika ketentuan yang bersifat penting dan strategis itu kemudian tidak dirumuskan di UU tapi akan dirumuskan di PP dan Perpres, artinya akan terjadi penyembunyian hal yang bersifat penting dan strategis yang tidak akan melewati pembicaraan di publik. "Padahal kalau skemanya seperti itu, ini bukan UU. Rumusan penting dan strategis kan harusnya ada di UU. Lalu, mereka bicara apa di UU, kalau ketentuan penting dan strategisnya di PP dan Perpres? Sementara pembentukan penyusunan PP dan Perpres kan tidak melibatkan DPR, Apalagi publik," terangnya.
Lebih dari itu, Marwan juga tegas menyebut bahwa pembentukan UU IKN tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya rencana IKN yang pernah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007, dan tidak tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 - 2019.
Justru, lanjut Marwan, IKN mendadak muncul baru dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020 Tentang RPJMN 2020-2024. Meski demikian, anggaran IKN tidak pernah ditemukan dalam Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020, 2021, dan 2022.
Terakhir, Marwan berpandangan bahwa UU IKN dalam pembentukannya tidak memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Oleh karena IKN merupakan materi yang disebutkan dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945, maka setiap kebijakan yang berkaitan dengan IKN, mestinya dirumuskan secara komprehensif dan holistik. "Kebijakan pemindahan IKN tidak mempertimbangkan aspek sosiologis kondisi nasional dan global yang tengah menghadapi pandemi Covid-19, yang dari waktu ke waktu trennya masih cukup tinggi," tandasnya.
Pentingnya Pakta Integritas
Kelompok PNKN memang lebih dulu menggugat UU IKN di MK. Meski demikian, bukan berarti kalangan akademisi hanya berpangku tangan. Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra bersama rekan akademisi lainnya, seperti Din Syamsuddin, Faisal Basri dan Agus Pambagio pun telah menggalang petisi. Isinya agar Presiden Jokowi membuat pakta integritas.
"Semacam perjanjian bahwa jika beliau [Presiden Jokowi] tetap melanjutkan proyek pembangunan ibu kota ini dan kemudian nanti kesulitan keuangan dan akhirnya mangkrak, maka yang bertanggung jawab itu adalah Presiden Jokowi," ujar Azyumardi melalui sambungan telepon dengan GATRA, Minggu (06/02/2021).
Keberatan Azyumardi terhadap beleid ini sebenarnya hampir sama dengan kebanyakan kalangan, yakni proses legislasi yang terlalu cepat, sehingga resapan aspirasi publik menjadi sangat kurang. Menariknya, ada beberapa kalangan yang awalnya pro Jokowi pun ikut mengkritik aturan ini. "Kritis itu bukan karena benci sama Pak Jokowi, tapi justru sebetulnya sayang dengan beliau. Harapannya agar beliau meninggalkan warisan yang bagus, yang berharga bagi negara bangsa kita, misalnya supaya demokrasi kita lebih terkonsolidasi," jelasnya.
Selain dari sisi legislasi, dalam banyak diskusi, Azyumardi mendengar cerita tentang oligarki bisnis yang menguasai lahan ratusan ribu hektar di Kalimantan Timur yang akan menjadi lokasi IKN. "Datanya juga banyak beredar," katanya. Menurutnya, ini menjadi gejala yang timbul, terlebih jika proyek IKN ini diteruskan dan menjadi proyek mercusuar dengan anggaran versi pemerintah hingga Rp466 triliun, dan dari versi DPR bisa menelan Rp1500 triliun atau setengah dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
"Kalau dana APBN satu tahun dipakai ke sana, berarti kita berhenti menikmati pendidikan fasilitas kesehatan semuanya harus berhenti kecuali hanya pembangunan ibu kota negara saja. Padahal, sepertiga dari total APBN didapat dari utang," katanya.
Salah satu cara agar megaproyek IKN ini tidak mangkrak di tengah jalan adalah dengan amandemen UUD 1945. Azyumardi berkali-kali berdiskusi dengan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo yang hasilnya adalah kesepakatan untuk membuat Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Ini penting agar pembangunan berkesinambungan meski presiden berganti-ganti. "Tapi itu cuma sampai di pernyataan saja. Menurut saya, perlu hitam di atas putih. Apa saja dalam UUD 1945 yang perlu diamandemen," katanya.
Selebihnya, Azyumardi mengatakan, naskah akademik yang mendasari UU IKN ini masih belum mumpuni. Ia meminjam istilah para pakar lain yang menyebut naskah akademik UU IKN tak lebih dari skripsi mahasiswa strata satu. "Intinya adalah itu tidak memadai. Diksi yang dipakai itu tidak pas," katanya.
Bagi Azyumardi, naskah akademik mencakup macam-macam kajian yang sifatnya kontekstual, seperti aspek geologi, lingkungan dan hutan, serta keamanan. Pertimbangan lingkungan di dalamnya termasuk penyediaan lahan. Beberapa kritik dalam aspek lingkungan adalah tidak idealnya Penajam Paser Utara sebagai IKN karena banyak lubang bekas galian tambang. "Saya membayangkan juga banjir, tapi katanya itu mungkin bisa di atasi. Kalau saya pribadi, bagusnya ibukota itu di perbukitan jadi lebih lebih terjaga dari banjir," ujarnya.
Belum lagi dengan isu penguasaan lahan oleh perusahaan besar, aspek sosiologis masyakarat setempat, hingga persoalan lingkungan masyarakat adat. Pada intinya, Azyumardi mengatakan IKN terlalu tergesa-gesa mengejar target 2024. "Bagaimana cara kerjanya bisa menyelesaikan itu dalam waktu dua tahun?" katanya.
Dalam pengalaman Azyumardi, suara kalangan akademisi memang jarang didengar oleh presiden. Contohnya ketika UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru diterbitkan. Para akademisi, sekitar 60 orang diundang ke Istana untuk berdialog. Keputusannya, para akademisi meminta Jokowi untuk membatalkan UU KPK melalui Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu). "Tapi itu tidak pernah dipertimbangkan. "Jika Jokowi bilang akan dipertimbangkan, itu hanya gimmick saja," ujarnya.
Kembali soal IKN, menurutnya proyek ini memang tidak visible dan tak layak dilanjutkan dengan ragam alasan. Saat ini, Indonesia sedang mengalami persoalan pelik dari sisi perekonomian. "Kecuali jika sisi ekonomi sudah take off dengan tingkat pertumbuhan 6-8 persen pertahun," jelas Azyumardi.
Namun saat ini, perekonomian masih menutupi defisit anggaran dari semester lalu. Memang, angka pertumbuhan sudah membaik dengan tiga atau empat persen pertahun. Namun secara aktual, karena masih menutupi defisit semester lalu, angka pertumbuhan itu mungkin baru satu atau dua persen di atas nol. "APBN sebagian besar harus membayar bunga utangnya yang sudah sangat besar, apa lagi pokoknya. Sekarang mau ditambah lagi pokoknya semakin besar," katanya.
Akan tetapi pemerintah dan DPR tetap kuat dalam pendiriannya. Anggota panitia khusus (pansus) IKN di DPR, Achmad Baidowi mengaku tak kaget jika ramai permohonan uji materi di MK. Bagi dia, permohonan uji materi terhadap suatu UU, merupakan hal biasa. Sebab memang merupakan hak konstitusional bahwa setiap seseorang atau kelompok masyarakat yang tidak setuju terhadap isi UU, terbuka untuk menggugat ke MK. "Namun demikian, tentu harus diperkuat dengan argumentasi. Lihat saja [nanti] argumentasi dari mereka, lalu kita jawab dalam persidangan," kata Baidowi kepada GATRA, Senin (07/02/2021).
Tiga persoalan yang menjadi sorotan publik terhadap UU IKN adalah legislasinya yang bermasalah, minimnya peran serta masyarakat dalam pembentukan UU, dan skema penganggaran yang masih simpang-siur. Namun, Baidowi menyangkal ketiga persoalan tersebut. Menurut dia, tidak ada ketentuan di dalam undang-undang yang mengharuskan pengesahan UU mesti dilakukan dalam kurun waktu tertentu, baik tahunan atau bahkan harian. UU IKN, misalnya, terbilang cepat karena disahkan hanya dalam tempo 43 hari, yang dimulai sejak 7 Desember 2021 hingga 18 Januari lalu.
"Tidak ada aturan bahwa UU harus disahkan dalam satu atau dua tahun. Bahkan bisa satu atau dua hari. Soal itu sudah selesai kami patahkan," ucap Baidowi, yang juga merupakan anggota fraksi PPP di Senayan itu.
Adapun soal minimnya partisipasi masyarakat, Baidowi mengaku bahwa tiap-tiap anggota Pansus IKN diberi mandat untuk menghimpun berbagai masukan dari warga negara yang kemudian dituangkan ke dalam forum. Lebih jauh, dalam proses diskusinya, ia mengklaim bahwa Pansus selalu melibatkan masyarakat, akademisi, dan pakar hukum. "Kalau 270 juta penduduk Indonesia ditanyai, ya, enggak mungkin selesai," ia menambahkan.
Terakhir, mengenai anggaran. Baidowi berkata bahwa penganggaran IKN akan menggunakan APBN dan sumber lainnya, sesuai ketentuan UU. Syahdan, dalam implementasinya, alokasi anggaran akan mengacu pada UU APBN. Adapun penggunaan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional, kata dia, merupakan wacana yang diusul oleh Menteri Keuangan Srimulyani. "Kami hanya membahas regulasinya saja," ujarnya.
APBN sendiri, Baidowi melanjutkan, hanya digunakan untuk membangun kawasan inti, yang meliputi kantor presiden, kantor DPR, mabes Polri dan TNI, serta kantor kementerian. Sumber lainnya, yang non-APBN, menurut dia, akan melibatkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha). "Lihat bentuk kota-kota mandiri di Jabodetabek, mana ada uang APBN di situ. Yang bangun itu kan swasta, BSD (Bumi Serpong Damai) atau Sinar Mas," tutur dia.
IKN dan Persoalan Anggarannya
Tak kurang dari Rp501 triliun uang yang harus disediakan pemerintah untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN), dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Presiden Joko Widodo sendiri yang menyebut duit triliunan ini diperlukan untuk membangun IKN baru yang akan segera dimulai ketika UU IKN disahkan parlemen.
Persoalannya, mekanisme pendanaan pembangunan IKN masih ngalor ngidul alias banyak versi yang berkembang. Awalnya, Presiden menuturkan anggaran pembangunan IKN tidak akan terlalu membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Kala itu, Joko Widodo menyampaikan, APBN akan digunakan sebesar 19 persen. Sisanya akan menggunakan skema KPBU atau swasta.
"Untuk membangun ibu kota baru setidaknya dibutuhkan dana sebesar USD35 miliar (sekitar Rp 501 triliun)," kata Jokowi ketika menghadiri Indonesia-PEA (Persatuan Emirat Arab) Investment Forum yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Kamis (4/11/2021).
Beberapa waktu kemudian, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, anggaran untuk membangun IKN masih dalam tahap penghitungan dan pembahasan. Namun jika ditilik dari situs resmi IKN, ikn.go.id, anggaran untuk memindahkan ibu kota mencapai Rp466 triliun. Uang ini akan terus menerus dikucurkan hingga selesai 2024 nanti.
Dalam laman ini, beban anggaran sebesar 53,3 persen diambil dari APBN. Sisanya melalui skema KPBU, swasta dan BUMN sebesar 46,7 persen. Tapi angka ini juga masih berubah drastis. Beban pembiayaan IKN beberapa waktu kemudian berubah menjadi skema KPBU sebesar 54,2 persen, investasi swasta dan BUMN/D sebesar 26,4 persen. Sisanya akan diambil dari APBN.
Teranyar, dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Sri Mulyani menegaskan bahwa anggaran IKN belum teralokasi di APBN 2022. Hal ini karena pembahasan APBN telah selesai di September 2021, sementara UU IKN baru disahkan 18 Januari. Namun, masih ada celah untuk menggunakan APBN 2022 dengan skema realokasi.
Sri Mulyani mencontohkan, pembangunan jalan di kawasan IKN yang dilakukan Kementerian PUPR dapat memakai dana dari pagu anggaran 2022. "Kalau PUPR mau buat jalannya tadi menggunakan realokasi anggaran di dalam Kementerian PUPR sendiri, ya monggo. Namun kalau kita sudah menghitung, ya akan kita hitung." jelasnya.
Meski UU IKN baru disahkan, namun kegiatan kementerian/lembaga (K/L) di Kalimantan Timur untuk menyiapkan pembangunan IKN sudah mulai berjalan. Kementerian PUPR, contohnya, telah melakukan penanganan sungai, sumber air, waduk untuk penyediaan air bersih di ibu kota negara yang baru. Kemudian ada kegiatan pembangunan jembatan Teluk Balikpapan yang sudah didanai Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Menkeu menjelaskan, semua angka yang muncul terkait alokasi anggaran IKN masih bersifat hasil analisa dan diskusi, belum difinalisasi. "Kecepatan orang menganalisa dan berdiskusi kan sangat cepat, jadi mulai muncul cerita ini. Mohon nanti kami akan menatanya." ujar Menkeu.
Selain simpang siur pembiayaan IKN melalui APBN atau KPBU, muncul juga wacana pembangunan IKN akan dibebankan kepada anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Menkeu sebenarnya tidak menampik bahwa skema ini bisa saja terjadi. Karena PEN merupakan alat yang bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur dasar. Diharapkan, pembangunan dengan penggunaan skema PEN bisa menciptakan nilai dan aktivitas ekonomi untuk masyarakat sekitar IKN. Dengan demikian, pembangunan IKN maish masuk dalam kriteria PEN.
"Kami menggunakan PEN itu sebagai tools, ini adalah tools untuk jagain Indonesia. Dan kebutuhan Indonesia itu macam-macam banyak sekali, tapi itu tetap accountable. Dan (kalau penggunaannya) harus sesuai dengan UU, kami tidak ada masalah mengenai hal itu." jelasnya.
Sebagai informasi, anggaran PEN 2022 telah ditetapkan sebesar 451,64 triliun yang akan dibagi untuk tiga klaster. Klaster kesehatan dialokasikan sebesar Rp125,97 triliun. Untuk perlindungan sosial sebesar Rp150,8 triliun, dan terakhir untuk penguatan ekonomi sebesar Rp174,87 triliun.
Dari tiga klaster ini, pembangunan IKN akan mengambil jatah penguatan ekonomi. Meski demikian, Menkeu mengatakan tak ada masalah jika pun skema PEN tak disetujui. Artinya, penekanan terkait fleksibilitas dan refocusing APBN tahun ini tetap akan dilakukan. "Anggaran kita fleksibel, responsif tapi tetap transparan akuntabel karena APBN-nya refocusing, bergerak. Tapi kita tetap diaudit BPK," ujar Sri Mulyani.
Lebih dalam soal postur APBN, Menkeu menjelaskan, penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi masih menjadi fokus utama pemerintah. Namun, jika bicara soal IKN, terutama pada momentum awal pembangunannya bisa dikategorikan sebagai upaya pemulihan ekonomi. "Kita tetap menyampaikan pindahnya dari pos mana ke mana supaya itu bisa tetap menjaga APBN sebagai instrument. Karena negara kita banyak sekali menghadapi tantangan tetapi juga ingin mencapai tujuan-tujuan yang banyak dan berbeda-beda," jelas mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini.
Menkeu juga menjamin, perhitungan dan pemenuhan kebutuhan anggaran IKN akan tetap sejalan dengan konsolidasi fiscal pasca pandemi. Hal ini penting agar kapasitas APBN tetap sehat dan seimbang. "Ini sudah harus dimasukkan dalam desain pada jangka pendek yaitu periode 2022-2024, artinya di tahun 2022 hingga tahun 2024 penanganan Covid, pemulihan ekonomi, penyelenggaraan pemilu, dan IKN semuanya ada di dalam APBN yang akan kita desain, dan pada saat yang sama defisit maksimal 3 persen mulai tahun 2023 akan diupayakan semuanya tetap terjaga," paparnya.
***
Ketika UU IKN diketuk palu, fraksi PKS masih menyuarakan keberatannya. Banyak hal yang sebenarnya perlu dikritisi dari UU ini, termasuk dari sisi penganggaran. Anggota Panitia Khusus (Pansus) UU IKN dari Fraksi PKS, Suryadi Jaya Purnama, mengatakan pandemi Covid-19 membuat ekonomi nasional terpuruk. Salah satu indikatornya adalah utang pemerintah yang sudah mencapai Rp6,91 kuadriliun. "Akibatnya kita melihat ada konsistenan antara apa yang diungkap di dalam naskah akademik kondisi ekonomi yang berat, tetapi solusi ekonomi yang diberikan justru menambah beban anggaran," katanya.
PKS, lanjut Suryadi, melihat adanya ketimpangan yang amat dalam ketika masyarakat sedang berjuang melawan Covid-19, pemerintah justru menawarkan istana baru di Penajam Paser Utara. "Kita melihat tidak ada masalah dengan istana di Jakarta, istana di Bogor, itu sangat lebih representatif, tiba-tiba mau bangun istana baru," ujarnya.
Persoalan ini diperparah dengan beban anggaran IKN yang, menurutnya, akan menjadi beban APBN. "Karena dalam skemanya ada dianggap APBN 20% kemudian sisanya menggunakan KPBU," jelas Suryadi.
Jika ingin menelisik lebih dalam terkait skema KPBU, kemungkinan saat ini tidak membebani APBN. Namun, pada ujungnya, APBN tetap kena getahnya karena opsi pertama badan usaha adalah BUMN. "Kalau BUMN rugi negara juga rugi atau mungkin pembayaran jangka panjang menjadi utang juga," katanya.
Soal pembiayaan memang sedikit rumit. Namun, jika disederhanakan, skema KPBU sebenarnya akan mengganggu APBN, meski tidak dalam jangka pendek. "Ya sama seperti kita mau kredit rumah. Mungkin kita DP 10 atau 20% sisanya dibayar oleh Bank, tapi tetap itu akan kita bayar juga pada jangka panjang. Jadi ini supaya kita tidak terkecoh seolah-olah tidak menggunakan APBN," katanya.
Kekhawatiran Suryadi dijawab oleh Ketua Pansus UU IKN, Ahmad Doli Kurnia. Menurut politisi Partai Golkar ini, sejak awal UU ini dibahas, DPR sudah mewanti-wanti terkait anggaran. Pada prinsipnya, parlemen setuju jika beban anggaran tidak melibatkan APBN terlalu besar. "Nah kemudian disampaikan ada skema-skema, misalnya ada kerja sama dengan pihak swasta, internasional, investor, termasuk kalaupun ada penggunaan APBN, ada skema yang misalnya diletakkan di kementerian/lembaga masing-masing," katanya.
Kekhawatiran lainnya adalah soal investasi asing. Pembahasan kilat UU IKN ini dianggap sebagai titipan investor yang menginginkan percepatan kepastian hukum soal IKN. Namun Doli membantah. Menurutnya, tidak ada titipan dari satu pun investor di balik disahkannya UU IKN. "Jadi kami dibentuk, Pansus 30 orang, berkomunikasi dengan pimpinan DPR dengan masing-masing fraksi. Setelah itu, mitra kerja kami yang sudah ditunjuk dalam Supres (Surat Presiden) itu leading sectornya adalah Pak Menteri PUPR," katanya,
Soal kepastian hukum, Doli memang mengakui bahwa UU ini memberikan jaminan payung hukum. Hal ini berbeda dengan ide pemindahan IKN pada periode sebelumnya yang belum tertuang dalam hukum formal. "Dan ini saya kira mengikat semua. Kalau dulu ada yang membayangkan pindah ke Palangkaraya waktu itu cuman gagasan aja, enggak ada dibuat sampai UU," jelasnya.
Namun, persoalan anggaran bukan urusan sepele. Perlu hitungan matang agar tidak mengganggu stabilitas fiskal. Jika pemerintah keukeuh menganggap APBN tidak akan terganggu dengan alternatif menggunakan PEN, justru hal ini semakin salah kaprah. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, landasan filosofis dari kedua program tersebut jelas berbeda. PEN, kata Tauhid, ditujukan murni untuk pemulihan ekonomi yang mencakup bantuan sosial, kesehatan, dan berbagai program di kementerian/lembaga.
Lagipula, Tauhid melanjutkan, program IKN akan berkontribusi sangat kecil dalam agenda pemulihan ekonomi. Menurut catatan INDEF, kontribusi pemindahan ibu kota terhadap perekonomian nasional diperkirakan hanya sebesar 0,02 persen dalam jangka pendeknya. Sementara untuk jangka panjang, berkontribusi 0,00 persen. "Hanya Kalimantan Timur saja yang akan mendapatkan manfaat. Daerah lain tidak," ujar Tauhid kepada GATRA, Ahad (23/01/2021).
Menurut hitung-hitungan INDEF, pertumbuhan ekonomi pulau Kalimantan juga tidak terlalu signifikan sebagai dampak dari IKN. Angkanya berkisar 3,61% untuk jangka pendek, dan 2,85% untuk jangka panjang. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur bisa mencapai 6,83% untuk jangka pendek, dan 4,58% persen untuk jangka panjang.
Tak heran jika Tauhid kemudiang menyayangkan pengalokasian anggaran PEN ke program IKN. Padahal, PEN telah diproyeksikan untuk infrastruktur yang memiliki multiplier effect yang tinggi. Hal itu mencakup pembangunan irigasi atau waduk, misalnya. "Sedangkan IKN akan berfokus pada pembangunan administrasi pemerintah, gedung dan kantor. Itu multiplier effct-nya rendah," ucap Tauhid.
Jika dikomparasikan, tidak ada negara di dunia ini yang menjalankan program pemulihan ekonomi dengan memindahkan ibu kota baru. "Memang di sana akan ada pelibatan tenaga kerja dalam tahap konstruksi. Tetapi kan berbeda," ia menambahkan.
Porsi APBN untuk program IKN yang naik dari 19% menjadi 53% juga dikritik Tauhid. Dengan presentase baru ini, total dana APBN yang diperlukan untuk ibu kota baru mencapai Rp259 triliun. Ia menduga, kenaikan porsi tersebut telah melewati penilaian risiko.
Karenanya, kenaikan itu tidak lain adalah menjadikan APBN sebagai jaring pengaman proyek. Hal ini, dengan kata lain, juga menandakan bahwa tidak ada investor yang tertarik dengan program tersebut. "Investasi itu bisnis. Bisnis diukur lewat untung. Untung diukur lewat pengembalian uang yang lebih tinggi ketimbang di perbankan atau SBN," kata Tauhid.
Karena itu, menurut Tauhid, pemindahan ibu kota mesti dilakukan dalam jangka waktu panjang. Artinya, tidak tergesa-gesa dan dipaksakan kudu di 2024 mendatang. Di sisi lain, situasi pandemi turut memberi dampak buruk bagi fiskal Indonesia. Jika program IKN dilaksanakan saat pandemi usai, sumber pendanaannya diperkirakan bisa lebih sehat. "Ketika ekonomi sudah optimal, lumayan enak kalau mau ekspansi fiskal untuk IKN," tutur dia.
Pada banyak negara, pemindahan ibu kota bisa memakan waktu hingga puluhan tahun. India, misalnya, merupakan salah satu negara yang memindahkan ibu kotanya, dari Kolkata ke New Delhi. Perlu waktu 20 tahun bagi pemerintah India untuk memindahkan administrasi dan kantor pemerintahan. "Karena itu harus gradual. Biaya harus bergulir bertahap. Jangan maksa di 2024," ujar Tauhid.
Hal terakhir yang turut menjadi sorotan Tauhid adalah pembentukan badan otorita IKN. Menurut dia, pembentukan ini menabrak aturan. Pasalnya, infrastruktur sudah mulai dibangun dan badan otorita baru akan dibantuk belakangan. Artinya, kata Tauhid, perencanaan infrastruktur mendahului otorita. Padahal, fungsi badan otoritas jelas: melakukan perencanaan, pengembangan, pembangunan, pengelolaan, dan pengendalian di zona otorita.
Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi peliputan mendalam dengan Indonesian Parliament Center (IPC)