Jakarta, Gatra.com- Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Prof. Wiku Adisasmito, mengungkapkan dua hal kunci menuju pembukaan bertahap demi menjamin produktivitas masyarakat yang aman dari Covid-19.
Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers bertemakan "Perkembangan Penanganan Covid-19 di Indonesia per 24 Februari 2022", yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube BNPB Indonesia pada Kamis sore, (24/2).
Pertama, kata Wiku, adalah positivity rate yang rendah. Positivity rate merupakan proporsi orang yang hasil tesnya positif dari keseluruhan orang yang dites. Positivity rate yang rendah menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang positif dari keseluruhan orang yang dites. "Sehingga dapat disimpulkan, bahwa resiko penularan yang ada di komunitas cenderung kecil," ujar dia.
Wiku mengatakan World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan positivity rate di bawah 5 persen, sebagai tolak ukur terkendalinya kasus di masyarakat. Standar ini mencakup hasil yang didapatkan baik dari rapid tes antigen maupun tes polymerase chain reaction (PCR), tergantung kondisi masing-masing negara.
dua, dia melanjutkan, adalah jumlah orang yang dites memadai. "Angka positivity rate tentunya tidak akan secara valid memberikan gambaran kondisi resiko penularan di tengah masyarakat, apabila jumlah orang yang dites tidak memadai baik yang menggunakan rapid antigen maupun PCR," kata Wiku.
Dia menambahkan, hal ini disebabkan karena kedua metode tersebut memiliki tujuan yang berbeda. Ada testing atau tindakan melakukan tes Covid-19 dengan tujuan skrining atau mengetahui sakit tidaknya seseorang, terutama sebelum melakukan aktivitas yang berpotensi menulari orang lain seperti mobilitas atau kegiatan perkantoran.
Wiku juga menyebut alat skrining seperti rapid antigen akan lebih menyasar kelompok masyarakat yang sehat, dengan akurasi yang cenderung lebih rendah dibandingkan testing untuk tujuan peneguhan diagnosa. Sedangkan testing dengan tujuan peneguhan diagnosa seperti PCR, memiliki akurasi yang lebih tinggi dan lebih banyak digunakan untuk memastikan positif tidaknya orang yang bergejala atau kontak erat.
"Sehingga, angka positivity rate sangat dipengaruhi oleh kelompok masyarakat yang dites," ucap dia.
Apapun metodenya, ujar Wiku, testing dengan tujuan peneguhan diagnosa saja dapat menghasilkan angka positivity rate yang lebih tinggi dibandingkan dengan skrining. Karena memang menyasar orang-orang yeng kemungkinan besar positif Covid-19.
Sebaliknya, kata dia, positivity rate yang didapatkan dari hasil skrining saja bisa menjadi rendah. Namun tidak memberikan gambaran yang valid, sebab hasil dari orang yang kemungkinan besar positif justru tidak terhitung.
"Untuk itu, testing perlu dilakukan dengan jumlah yang memadai baik untuk keperluan skrining maupun peneguhan diagnosa. Sebab keduanya berkontribusi atas valid-nya angka positivity rate," ucap Wiku.
Dia mengatakan dalam hal ini, WHO telah menetapkan target testing, yaitu 1.000 orang diperiksa per 1 juta penduduk.