Jakarta, Gatra.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 2 orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat CRJ 1000 dan ATR 72-600 pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2011–2021.
Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam konferensi pers daring dari Kejagung, Jakarta, Kamis (24/2), menyampaikan, kedua tersangkanya tersebut ditetapkan setelah Tim Jaksa Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) memeriksa 6 orang di antaranya dari direksi, komisaris, dan pejabat PT Garuda Indonesia pada hari ini. Dari 6 orang ini, dua di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.
“[Tersangka] pertama inisialnya SA, selaku Vice President Strategic Management Office PT Garuda Indonesia 2011-2012 dan sebagai anggota tim pengadaan pesawat CRJ Garuda Indonesia serta anggota pengadaan pesawat ATR 72-600 PT Garuda,” katanya.
Sedangkan tersangka kedua, lanjut Burhanuddin, yakni AW selaku Executive Project Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia 2009-2014 dan sebagai anggota Tim Pengadaan Pesawat CRJ 1000 serta anggota Tim Pengadaan Pesawat ATR 72-600 PT Garuda.
Sebelumnya, Kejagung menaikkan kasus dugaan korupsi pengadaan atau sewa pesawat ATR 72-600 pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. ke tahap penyidikan dan akan mengusut kasus-kasus lainnnya di maskapai pelat merah tersebut.
“Perkara tindak pidana korupsi di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Jaksa Agung menyampaikan bahwa telah dinaikan menjadi penyidikan umum,” ujar Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung pada Kamis (20/1/2022).
Ia menjelaskan, untuk tahap pertama, penyidik mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan atau sewa pesawat ATR 72-600. Kemudian juga kasus-kasus sejumlah pengadaan lainnya. Menurutnya, ada beberapa pengadaan kontrak pinjam dan pengadaan lainnya, yakni pesawat jenis Bombardier, Air Bus, Boeing, dan Rolls Royce.
“Kita akan kembangkan dan tuntaskan di mana setiap penanganan, kami akan berkoordinasi dengan KPK karena ada beberapa yang telah tuntas di KPK dan juga untuk menghindari adanya tumpang tindih,” uja Burhanuddin.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Febrie Ardiasyah, menyampaikan bahwa Jaksa Agung telah memerintah kepada jajaran Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) untuk melakukan penyidikan dalam proses melihat siapa yang bertanggung jawab di luar yang telah ditetapkan oleh KPK.
Agar tidak tumpang tindih dengan kasus korupsi pada PT Garuda Indonesia yang sedang ditangani KPK, lanjut Febrie, pihaknya intens melakuka koordinasi dengan pihak lembaga antirasuah.
Koordinasi dilakukan karena KPK telah lebih dahulu melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi pada Garuda Indonesia tersebut. Koordinsi juga dilakukan mulai dari alat bukti maupun konstruksi pembuktian yang mungkin telah ada di KPK.
“Saat ini, perkara telah naik ke tahap penyidikan dan konsentrasi kami ada di pengadaan pesawat jenis ATR dan Bombardier. Untuk kerugian negara, kami tidak bisa sampaikan secara detail karena tetap akan dilakukan oleh auditor,” ujarnya.
Namun Febrie menyebutkan bahwa kerugian keuangan negaranya cukup besar, seperti contohnya untuk pengadaan sewa saja, indikasinya sebesar Rp3,6 triliun sehingga cara pandang penyidik di Kejagung sekaligus mengupayakan bagaimana kerugian yang terjadi di PT Garuda Indonesia.
“Akan kita upayakan pemulihannya. Kerugian di PT Garuda Indonesia terjadi pada saat dipimpin oleh Direktur Utama ES yang saat ini telah diproses oleh KPK dan masih menjalani hukuman,” ujarnya.
Kejagung mulai menyelidiki kasus dugaan korupsi sewa pesawat ATR 72-600. Penyelidikan tersebut berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: Print-25/F.2/Fd.1/11/2021 tanggal 15 November 2021.
Menurut Leo diterbitkan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Surat tersebut merupakan perintah untuk menyelidiki kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan PT Garuda Indonesia berupa penggelembungan (mark up) penyewaan pesawat Garuda Indonesia yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
“Dengan waktu perjanjian tahun 2013 sampai dengan saat ini dan manipulasi data dalam laporan penggunaan bahan bakar pesawat,” ujarnya.
Leo lantas menjelaskan posisi kasus tersebut. Secara singkat, bahwa berdasarkan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) Tahun 2009-2014 terdapat rencana kegiatan pengadaan penambahan armada pesawat sebanyak 64 unit yang akan dilaksanakan oleh PT Garuda Indonesia.
Pegadaan pesawat tersebut, lanjut Leo, baik dengan menggunakan skema pembelian (financial lease) dan sewa (operation lease buy back) melalui pihak lessor.
Sumber dana yang digunakan dalam rencana penambahan jumlah armada tersebut dengan menggunakan Lessor Agreement, yakni pihak ketiga akan menyediakan dana dan PT Garuda Indonesia kemudian akan membayar kepada pihak lessor dengan cara pembayaran secara bertahap dengan memperhitungkan waktu pengiriman terhadap inflasi.
Selanjutnya, atas RJPP tersebut direalisasikan beberapa jenis pesawat, di antaranya ATR 72-600 sebanyak 50 unit, terdiri pembelian 5 unit dan sewa 45 unit. Kemudian, pesawat CRJ 1000 sebanyak 18 unit, terdiri 6 pembelian dan sewa sejumlah 12 unit.
Leo melajutkan, bussiness plan procedure dalam pengadaan atau sewa pesawat di PT Garuda Indonesia adalah direktur utama akan membentuk Tim Pengadaan Sewa Pesawat atau Tim gabungan yang melibatkan personel dari beberapa Direktorat, yakni Teknis, Niaga, Operasional, dan Layanan/Niaga.
“[Mereka] yang akan melakukan kajian dan dituangkan dalam bentuk paper hasil kajian. Feasibility Study (FS) disusun oleh tim atas masukan oleh direktorat terkait mengacu pada bisnis plan yang telah dibahas dalam pembahasan anggaran harus inline dengan perencanaan armada dengan alasan feasibility/riset/kajian/tren pasar/habit penumpang yang dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.
Atas pengadaan atau sewa pesawat tersebut, ujar Leo, diduga telah terjadi peristiwa pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan menguntung pihak lessor.